Click If You Want To Know

Sunday 16 March 2014

Cerita Ibu

   Entahlah, setiap minggu jadi sering banget telponan sama Ibu. Sebenarnya ingin cerita sesuatu, tapi ketika mendengar suara Ibu, niat itu terhenti. Cukup mendengar suara Ibu, semua yang menjadi kekalutanku seketika menghilang. Ya, cukup mendengar suara orang yang kita sayang, rasanya kita tidak perlu mengatakan apapun, meski banyak sekali hal yang ingin kita katakan.

   Dan, selalu, topik yang seringkali Ibu bahas adalah dia dia dan dia, seperti tidak ada topik lain yang harus kami bicarakan. Ibu selalu bertanya, "Gimana kabarnya? Masa kamu nggak pernah nyoba buat tanya-tanya?"

   Saya hanya bisa menjawab, "Entahlah. Aku nggak tertarik buat tanya-tanya, Bu." Well, saya tahu saya sedikit tidak jujur pada Ibu, maupun diri sendiri.

   Tapi, hebatnya Ibu adalah ia seakan tahu apa yang tersirat dalam hati anaknya, apa makna dibalik keacuhan anaknya, apa yang menjadi kekalutan anaknya, apa yang anaknya sembunyikan darinya.

   Maka, beberapa menit kemudian, kami berdua tertawa dalam telpon. Masih membicarakan topik yang sama, membicarakan satu nama. Kemudian merembet ke hal-hal lain yang berhubungan. Sebenarnya, sudah lama saya ingin bertanya pada Ibu, bagaimana menurut Ibu tentang kami? Tapi, saya terlalu malu untuk langsung bertanya. Mungkin respon pertama Ibu, Ibu akan tertawa. Respon kedua, ia akan menasehati dengan kata-katanya yang sangat membangun. Tapi, saya belum siap bertanya hal itu, belum waktunya.

   Dari perbincangan kami tersebut, Ibu banyak memberiku pandangan. Tentang bagaimana dia menurut pandangan Ibu, tentang bagaimana itu teman, tentang bagaimana ketika kita menyukai lawan jenis, tentang bagaimana rasanya bertemu dengan jodoh kita. Lalu, aku meminta Ibu menceritakan pengalamannya bersama Ayah dulu. Dari cerita Ibu, aku banyak tahu.

   "Kalau udah jodohnya itu, biasanya nggak bisa jauh. Biasanya udah satu pemikiran, satu tujuan. Kayak Ibu dulu pernah suka sama orang, tapi nggak sepaham sama Ibu. Ibu maunya sekolah dulu, kerja dulu. Beda sama Ayahmu. Ayah itu juga pemikirannya sama seperti Ibu, maunya ya sekolah sama kerja dulu. Biasanya itu, kalau jodoh, begitu kita bilang apa, dia bakal dengerin, bakal nurut, bakal sepaham. Gitu juga kalau dia bilang apa, kita bakal nurut, bakal dengerin, bakal sepaham."

   Saya hanya bergeming. Saya mencoba mencari kesamaan, tapi tak kutemukan satu pun.

   "Terus biasanya, kalau udah jodoh itu, mau dia ganteng, mau dia jelek, mau dia jahat, mau dia baik, bagi kita itu nggak masalah. Kita malah mikirnya itu positif. Coba pas Ibu suka sama orang, begitu Ibu tahu ada yang kurang sreg tentang dia, Ibu langsung nggak mau. Tapi kalau jodoh, selalu bisa menerima kelebihan dan kekurangan masing-masing. Sebel pasti ada, tapi sebel itu tetep bikin kita suka sama dia."

   Dari cerita ini, saya lebih banyak tersenyum.

   Well, seminggu ini mungkin saya banyak tersenyum, banyak cemberut, sempat menghebohkan Ines dan Burhan gara-gara kelakuan saya yang jelas-jelas random banget. Teman sekelas saya sampai harus mendapati saya duduk dipojokan dan hanya bisa memandangi layar handphone.

   "Wah, Retno selingkuh!" tuduhnya. "Kalau senyum-senyum nggak jelas gitu biasanya lagi selingkuh!" Saya hanya bisa tersenyum lebar. Saat itu, saya tidak bisa berkata apa-apa kecuali tersenyum gara-gara satu hal yang tidak akan saya lupa meskipun dia bilang, "Forget what I said please".

  I just want you to know one thing. I'll try to keep my feeling on you 'till I really can't hold it on to leave.

   I have and will try to keep holding it on 'till Allah said differently. Although I hope He never say differently. So that you know.


No comments: