Click If You Want To Know

Sunday 3 March 2013

Membuang Kenangan


MEMBUANG KENANGAN

            Langit malam ini benar-benar gelap. Tak kutemukan setitik pun cahaya yang biasanya bertebaran tak tentu. Tiba-tiba, aku melihat sebuah gelembung sabun yang melayang-layang menghiasi langit, menggantikan bintang yang menghilang.
            “Aku mau gelembung sabun,” kataku sambil menarik-narik jaket orang di sebelahku. Ia menatapku heran.
            “Udah 18 tahun kok mainannya begituan? Nggak malu?” tanyanya. Aku menggeleng kuat, seperti seorang gadis kecil yang meyakinkan kedua orang tuanya bahwa ia tidak nakal.
            “Baiklah. Ayo kita cari penjual gelembung sabun,” lanjutnya sambil menggapai tanganku untuk membantuku berdiri.
            Alun-alun malam itu sangat ramai. Terang saja karena malam itu adalah malam terakhir liburan, dan juga malah akhir pekan. Kelihatannya semua orang bepikiran sama dengan kami berdua untuk mendatangi tempat ini untuk menghabiskan malam ini.
            Kami berdua berkeliling alun-alun untuk mencari penjual gelembung sabun. Tak lama, kami menemukannya. Aku memilih cairan yang berwarna biru dan segera membukanya dengan semangat.
            “Berapa, Bu?” tanyanya.
            “Dua ribu aja, Mas,” jawab si Ibu. Ia segera membayar dengan selembar uang dua ribuan.
            “Lihat, lihat! Aku bisa buat gelembung yang besar!” pamerku sambil memamerkan gelembung yang cukup besar yang baru saja aku tiup. Ia tersenyum lebar.
            “Yang bagus itu gelembungnya yang banyak dalam sekali tiup, bukan besar-besaran gelembung.” Aku tertawa malu.
            “Biar deh. Aku lebih suka membuat gelembung yang super besar,” jawabku sambil memeletkan lidahku. Kali ini ia yang tertawa.
            Kami kembali jalan menyusuri trotoar alun-alun kota. Sesekali aku meniup gelembung tersebut dan kadang ada beberapa anak kecil yang mengikuti kami, memperhatikanku meniup gelembung-gelembung tersebut. Kami berdua sama-sama tersenyum. Malam itu, kami berdua hanya bisa terdiam lama. Sangat lama. Sampai akhirnya kami duduk di pinggir sebuah lapangan yang ramai akan remaja-remaja yang sedang bermain basket. Dan aku tetap sibuk dengan kegiatan meniup gelembung sabun.
            “Nggak seru, ya, nggak ada bintang,” sahutku. Ia melihat ke arah langit.
            “Iya, kosong,” jawabnya dengan sedikit mendesah. “Kamu nggak kedinginan?”
            Aku menggeleng. Tapi sedikit ragu. Sebenarnya angin malam ini lebih keras daripada angin malam-malam sebelumnya.
            “Aku yang kedinginan,” katanya sambil tertawa kecil. Aku tersenyum. “Tumben?”
            “Soalnya nggak ada bintang,” jawabnya kemudian sambil tetap memandang langit hitam.
            “Apa hubungannya?” heranku.
            Ia mengangkat kedua bahunya. “Entahlah. Rasanya lebih dingin aja.”
            “Ha ha ha, alasan non sense,” kataku sambil melanjutkan kegiatan meniup gelembung sabun. Ia tersenyum dan kemudian memandangku.
            “Ah, jadi pengen buat teleskop kecil seperti dulu. Kita buat, yuk!”
            “Mauu! Ayo kita buat teropong bintang!” teriakku bersemangat.

            Alarm di sebelahku akhirnya sanggup membangunkanku setelah lebih dari setengah jam ia berteriak di samping telingaku. Sepertinya mimpiku terlalu indah sampai aku tidak menyadarinya. Dan, aku baru tersadar bahwa aku tertidur di lantai bersama beberapa barang yang berserakan. Di genggamanku terdapat sebuah botol dengan cairan berwarna biru. Aku memperhatikannya beberapa saat sebelum akhirnya otakku benar-benar menyala. Aku hanya bisa mendesah dan mengembalikan barang-barang yang berserakan tersebut kembali ke kotak asal. Dan aku memindahkan tubuhku ke kasur terdekat. Benar-benar pendaratan yang sempurna karena aku mulai merasa nyaman. Tapi, aku tak bisa kembali tidur. Otakku menari-nari, tidak, memori itu mulai menari-nari indah. Aku memeluk guling dan menundukkan kepalaku. Aku sudah tidak kuat.
            Pagi ini aku siap dengan laptop yang menyala dan secangkir susu panas untuk memulai aktivitasku. Begitu aku akan mulai mengerjakan laporan yang berserakan di meja, sebuah pesan masuk melalui handphone-ku. Dari Vino.
            Vino: Udh tw nilai lu belom? Gw skg ada ddpn papan pgumuman nih. Mw diliatin kaga?
            Aku terhenyak. Me: Nilai apa, Vin?
            Agak lama setelah itu, handphone-ku berbunyi sekali lagi. Vino: Kalkulus.
            Damn! Bahkan pagi ini aku tidak diberi kesempatan untuk mengerjakan laporan yang sedang menumpuk ini. Aku buru-buru mengambil jaket dan keluar menuju kampus. Sebelum itu, aku masih sempat membalas pesannya.
            Me: Kaga usah... gw bs liat sndiri. Thanks Vin!
            Kost-anku dengan kampus tidak seberapa jauh. Mungkin lima menit berjalan biasa sudah sampai. Tapi, jika aku berjalan segini cepatnya, tiga menit adalah waktu terlama yang kubutuhkan untuk sampai di tempat. Mudah saja mencari papan pengumuman kalkulus. Begitu aku sampai di sana, puluhan anak sedang berebut melihat nilai mereka. Aku melihat sekeliling, tapi tidak melihat batang hidung Vino. Anak itu memang mudah sekali menghilang. Tanpa berpikir panjang, aku langsung bergabung dengan puluhan anak lainnya. Cukup sulit untuk mendesak masuk karena mereka yang di depan tidak segera beranjak dari tempatnya.
            Setelah mengarungi ‘arus’ manusia yang super padat, akhirnya aku bisa melihat deretan kertas pengumuman di depan mataku. Sambil megap-megap karena kekurangan oksigen, ditambah disebelahku ada anak super gendut yang juga menerobos masuk, aku mencari namaku di deretan nama-nama mahasiswa lain. Begitu aku menemukan nilaiku, aku segera memberontak keluar dari gerombolan itu. Aku bersyukur karena akhirnya mendapat oksigenku kembali dan nilaku tidak seburuk yang aku duga. Aku kembali ke kost-an dengan muka ceria.
            Begitu aku sampai di kamar, sebuah pesan masuk kembali.
            Vino: Udh lihat nilai? I guess you have...
            Me: Yes, I have :) how’s your score? I guess it’s perfect as usual...
            Vino: LOL. Well, I’m just lucky as usual.
            Aku tersenyum. Ia selalu merendah seperti itu.
            Me: Hey, I didn’t see you there. Where have you been?
            Vino: I have something to do as soon as possible, so I left quickly.
            Aku sedikit kecewa membacanya. Padahal aku sangat berharap untuk bertemu dengannya. Tapi sepertinya ia selalu sibuk seperti biasanya. Well, I can’t lie that I miss to see him so much.

            Adeala terkejut melihatku masih berkutat di depan laptop dengan kopi yang tinggal setengah cangkir. Kamarku sangat berantakan dan aku tidak sempat untuk membereskannya. Seperti biasa, hal pertama yang dilakukan Adeala adalah berdecak, kemudian memanggil namaku seperti emak-emak tukang gosip.
            “Emmaaaaa! Betah banget kamar berantakan begini. Ya ampun, gimana kamu bisa hidup sehat kalau lingkunganmu kotor? Lihat, bekas sarapanmu masih di sini, nggak langsung dibuang aja sih? Kamu itu jorok, Emma,” katanya menasehati. Sayangnya, aku sudah kebal dengan segala nasehat itu. Dan seperti biasa, aku hanya bia menjawab, “Iya, gue tahu.”
            “Emma, kamu harus keluar kamar sebentar. Menghirup udara segara bisa me-refresh otak kamu yang suntuk. Percaya deh,” sarannya yang aku anggap sangat brilian.
            “De, pinter juga kamu, ya? Okedeh, bentar lagi aku pindah ke teras depan sambil bawa laptop setelah masak air buat kopi. Aku butuh lihat bintang, nih, biar nggak suntuk,” kataku diikuti dengan gelengan kepala Adeala.
            “Emma, no coffee, please! Kebanyakan kopi nggak baik untuk kesehatan. Kamu cuman butuh udara segar aja untuk bisa melek. Tapi, jangan terlalu malam juga kamu mengerjakan laporan-laporan itu. Tubuh kamu butuh istirahat. Metabolisme tubuhmu...” aku segera menyumpalkan headset ke dalam kedua telingaku sementara Adeala terus berkicau. Aku mulai membereskan kertas-kertas yang berserakan di lantai, membuang sampah-sampah, memanaskan air di heater sambil menuangkan sebungkus kopi ke dalam cangkir yang masih terisi setengah gelas kopi. Aku suka sekali dengan kopi. Yes, I’m addicted to it. Sepertinya aku sudah kecanduan kafein.
            “Emma, you don’t listen to me, do you?” tanya Adeala setelah melepas satu buah headset dari telingaku. Aku tersenyum sambil menggeleng. Sekali lagi Adeala mendesah putus asa.
            “Emma, jangan memaksakan diri,” kata Adeala kemudian dengan nada yang lebih halus.
            “All I need is only making it done, Adeala,” kataku sambil mengambil posisi pewe-ku di teras depan.
            “Tapi ingat tubuhmu juga, Emma. Kalau kamu sakit, kamu nggak bakal bisa menyelesaikan tugas-tugasmu, kan?”
            Aku mengangkat tangan. “Oke, aku menyerah. Aku akan segera selesaikan tugas-tugas ini. SEGERA,” aku memberikan penekanan pada kata terakhirku. Adeala hanya menggelengkan kepalanya. “But, no coffee.” Adeala langsung merebut gelasku. Aku hanya bisa menyaksikannya dengan pasrah.
            Sebelum aku mulai mengetik, aku melihat lautan bintang di atasku. Sangat indah dan sungguh membuatku terpana sekaligus lega. Otakku seketika langsung mencair dari kebekuan. Namun, kebekuan itu digantikan oleh memori-memori hangat yang sejak dulu meluap di otakku. Aku ingin menangis, tapi air mataku benar-benar tertahan.
I need Vino to be here.

         “Kamu jangan pernah ragukan perasaanku ke kamu. Aku selalu sayang sama kamu, asal kamu tahu itu,” jelasnya dari seberang telepon. Aku mengusap air mataku.
            “Tapi kenapa kamu malah ninggalin aku? Kamu kira setelah ini kamu bakal sendiri terus? Kamu bakal punya cewek lagi, kan? Jangan-jangan emang iya kamu lagi suka sama cewek lain sekarang,” isakku. Lawan bicaraku hanya terdiam.
            “Bukan begitu. Ada alasan lain dan nggak bisa aku jelaskan di sini. Aku harus ketemu kamu.”
            Kali ini aku yang terdiam. Waktu terus berjalan dan aku tidak punya banyak waktu lagi. Aku tidak akan bisa bertemu dengannya dalam waktu dekat ini.
            “Aku cuman sayang sama kamu. Aku cuman mau kamu. Dan aku nggak akan pernah ngelakuin hal seperti itu. Kita lihat aja nanti,” tambahnya. Aku semakin terdiam.
            “Kamu mau percaya, kan, sama aku?” tanyanya kemudian. Aku masih terdiam. Aku menundukkan kepala dan menelan ludah.
            Setelah mengucapkan basmalah, dengan hati yang penuh aku menjawab, “Aku percaya.”
            Tapi aku tak tahu apakah aku telah membuat keputusan yang benar. Atau malah kesalahan yang fatal.

            Adeala kembali menemukanku di dalam kamar dengan keadaan berantakan. Tapi, kali ini berbeda. Aku mengeluarkan semua barang-barang yang selama ini aku simpan di dalam lemari bagian bawah. Adeala melihat benda-benda itu satu per satu.
            “Apa ini?” tanyanya heran.
            Aku membuka masker hidung dan menjawab sambil tersenyum, “Ini semua memori, De.”
            Adeala mengernyitkan dahi. Tapi kurasa, ia paham maksudku. Ia mungkin tidak terlalu paham apa yang aku lakukan. “What are you doing?”
            “Membuang kenangan,” jawabku singkat sambil terus membereskan benda-benda itu, memasukkan mereka satu per satu ke dalam kardus. “Aku sudah nggak tahan, De.”
            Adeala hanya bisa terdiam memandangku. Kemudian, ia memungut sebuah botol dengan cairan berwarna biru. “Gelembung sabun. Aku sudah lama nggak main yang beginian,” sahutnya sambil meniupkan gelembung sabun itu. Aku menghela napas.
            “Kamu mau? Tapi sayangnya, benda ini juga harus dibuang,” kataku sambil merebut botol itu.
            “You are doing the right things, Emma. Kamu harus benar-benar move on. Your past is just a past. You have to see the bright future. Lagipula kamu punya Vino, kan, sekarang?” kata Adeala lagi. Aku diam sejenak dan kemudian mengangkat kedua bahuku.
            “Aku cuman suka sama Vino. Nggak pernah lebih dari itu. Lagipula dia cerita sendiri kalau dia sekarang lagi suka sama cewek. For him, I’m just his nice-friend-to-talk-to. Nggak lebih dari itu. Sedih, ya?” kataku menahan air mata yang mendesak untuk jatuh.
            Adeala memelukku dari belakang. “You are the strongest girl ever, Emma. Proud of you so much.”
            Aku balik memeluknya. “Aku nggak sekuat yang Adeala bayangkan. Adeala nggak tahu bagaimana rapuhnya Emma, kan? Hanya saja Emma bertahan demi orang-orang yang benar-benar sayang sama Emma.”
            Aku benar-benar tidak bisa menahan air mataku. Hatiku seperti meledak dan aku merasakan kesakitan yang kesekian kalinya dalam beberapa waktu terakhir. Berbagai kenangan kembali muncul seiring dengan jatuhnya air mata. Aku benar-benar berharap kenangan-kenangan itu juga jatuh sederas air mata yang mengalir ini yang kemudian menguap pergi.


No comments: