MEMBUANG KENANGAN
Langit malam ini benar-benar gelap.
Tak kutemukan setitik pun cahaya yang biasanya bertebaran tak tentu. Tiba-tiba,
aku melihat sebuah gelembung sabun yang melayang-layang menghiasi langit,
menggantikan bintang yang menghilang.
“Aku mau gelembung sabun,” kataku
sambil menarik-narik jaket orang di sebelahku. Ia menatapku heran.
“Udah 18 tahun kok mainannya
begituan? Nggak malu?” tanyanya. Aku menggeleng kuat, seperti seorang gadis
kecil yang meyakinkan kedua orang tuanya bahwa ia tidak nakal.
“Baiklah. Ayo kita cari penjual
gelembung sabun,” lanjutnya sambil menggapai tanganku untuk membantuku berdiri.
Alun-alun malam itu sangat ramai.
Terang saja karena malam itu adalah malam terakhir liburan, dan juga malah
akhir pekan. Kelihatannya semua orang bepikiran sama dengan kami berdua untuk
mendatangi tempat ini untuk menghabiskan malam ini.
Kami berdua berkeliling alun-alun
untuk mencari penjual gelembung sabun. Tak lama, kami menemukannya. Aku memilih
cairan yang berwarna biru dan segera membukanya dengan semangat.
“Berapa, Bu?” tanyanya.
“Dua ribu aja, Mas,” jawab si Ibu.
Ia segera membayar dengan selembar uang dua ribuan.
“Lihat, lihat! Aku bisa buat
gelembung yang besar!” pamerku sambil memamerkan gelembung yang cukup besar
yang baru saja aku tiup. Ia tersenyum lebar.
“Yang bagus itu gelembungnya yang
banyak dalam sekali tiup, bukan besar-besaran gelembung.” Aku tertawa malu.
“Biar deh. Aku lebih suka membuat
gelembung yang super besar,” jawabku sambil memeletkan lidahku. Kali ini ia
yang tertawa.
Kami kembali jalan menyusuri trotoar
alun-alun kota. Sesekali aku meniup gelembung tersebut dan kadang ada beberapa
anak kecil yang mengikuti kami, memperhatikanku meniup gelembung-gelembung
tersebut. Kami berdua sama-sama tersenyum. Malam itu, kami berdua hanya bisa
terdiam lama. Sangat lama. Sampai akhirnya kami duduk di pinggir sebuah
lapangan yang ramai akan remaja-remaja yang sedang bermain basket. Dan aku
tetap sibuk dengan kegiatan meniup gelembung sabun.
“Nggak seru, ya, nggak ada bintang,”
sahutku. Ia melihat ke arah langit.
“Iya, kosong,” jawabnya dengan
sedikit mendesah. “Kamu nggak kedinginan?”
Aku menggeleng. Tapi sedikit ragu.
Sebenarnya angin malam ini lebih keras daripada angin malam-malam sebelumnya.
“Aku yang kedinginan,” katanya
sambil tertawa kecil. Aku tersenyum. “Tumben?”
“Soalnya nggak ada bintang,”
jawabnya kemudian sambil tetap memandang langit hitam.
“Apa hubungannya?” heranku.
Ia mengangkat kedua bahunya.
“Entahlah. Rasanya lebih dingin aja.”
“Ha ha ha, alasan non sense,” kataku sambil melanjutkan
kegiatan meniup gelembung sabun. Ia tersenyum dan kemudian memandangku.
“Ah, jadi pengen buat teleskop kecil
seperti dulu. Kita buat, yuk!”
“Mauu! Ayo kita buat teropong
bintang!” teriakku bersemangat.
Alarm di sebelahku akhirnya sanggup
membangunkanku setelah lebih dari setengah jam ia berteriak di samping
telingaku. Sepertinya mimpiku terlalu indah sampai aku tidak menyadarinya. Dan,
aku baru tersadar bahwa aku tertidur di lantai bersama beberapa barang yang
berserakan. Di genggamanku terdapat sebuah botol dengan cairan berwarna biru.
Aku memperhatikannya beberapa saat sebelum akhirnya otakku benar-benar menyala.
Aku hanya bisa mendesah dan mengembalikan barang-barang yang berserakan
tersebut kembali ke kotak asal. Dan aku memindahkan tubuhku ke kasur terdekat.
Benar-benar pendaratan yang sempurna karena aku mulai merasa nyaman. Tapi, aku
tak bisa kembali tidur. Otakku menari-nari, tidak, memori itu mulai menari-nari
indah. Aku memeluk guling dan menundukkan kepalaku. Aku sudah tidak kuat.
Pagi ini aku siap dengan laptop yang
menyala dan secangkir susu panas untuk memulai aktivitasku. Begitu aku akan
mulai mengerjakan laporan yang berserakan di meja, sebuah pesan masuk melalui handphone-ku. Dari Vino.
Vino:
Udh tw nilai lu belom? Gw skg ada ddpn papan pgumuman nih. Mw diliatin kaga?
Aku terhenyak. Me: Nilai apa, Vin?
Agak
lama setelah itu, handphone-ku
berbunyi sekali lagi. Vino: Kalkulus.
Damn!
Bahkan pagi ini aku tidak diberi kesempatan untuk mengerjakan laporan yang
sedang menumpuk ini. Aku buru-buru mengambil jaket dan keluar menuju kampus.
Sebelum itu, aku masih sempat membalas pesannya.
Me:
Kaga usah... gw bs liat sndiri. Thanks Vin!
Kost-anku dengan kampus tidak
seberapa jauh. Mungkin lima menit berjalan biasa sudah sampai. Tapi, jika aku
berjalan segini cepatnya, tiga menit adalah waktu terlama yang kubutuhkan untuk
sampai di tempat. Mudah saja mencari papan pengumuman kalkulus. Begitu aku
sampai di sana, puluhan anak sedang berebut melihat nilai mereka. Aku melihat
sekeliling, tapi tidak melihat batang hidung Vino. Anak itu memang mudah sekali
menghilang. Tanpa berpikir panjang, aku langsung bergabung dengan puluhan anak
lainnya. Cukup sulit untuk mendesak masuk karena mereka yang di depan tidak
segera beranjak dari tempatnya.
Setelah mengarungi ‘arus’ manusia
yang super padat, akhirnya aku bisa melihat deretan kertas pengumuman di depan
mataku. Sambil megap-megap karena
kekurangan oksigen, ditambah disebelahku ada anak super gendut yang juga
menerobos masuk, aku mencari namaku di deretan nama-nama mahasiswa lain. Begitu
aku menemukan nilaiku, aku segera memberontak keluar dari gerombolan itu. Aku
bersyukur karena akhirnya mendapat oksigenku kembali dan nilaku tidak seburuk
yang aku duga. Aku kembali ke kost-an dengan muka ceria.
Begitu aku sampai di kamar, sebuah
pesan masuk kembali.
Vino:
Udh lihat nilai? I guess you have...
Me:
Yes, I have :) how’s your score? I guess it’s perfect as usual...
Vino:
LOL. Well, I’m just lucky as usual.
Aku
tersenyum. Ia selalu merendah seperti itu.
Me:
Hey, I didn’t see you there. Where have you been?
Vino:
I have something to do as soon as possible, so I left quickly.
Aku sedikit kecewa membacanya.
Padahal aku sangat berharap untuk bertemu dengannya. Tapi sepertinya ia selalu
sibuk seperti biasanya. Well, I can’t lie
that I miss to see him so much.
Adeala terkejut melihatku masih
berkutat di depan laptop dengan kopi yang tinggal setengah cangkir. Kamarku
sangat berantakan dan aku tidak sempat untuk membereskannya. Seperti biasa, hal
pertama yang dilakukan Adeala adalah berdecak, kemudian memanggil namaku
seperti emak-emak tukang gosip.
“Emmaaaaa! Betah banget kamar
berantakan begini. Ya ampun, gimana kamu bisa hidup sehat kalau lingkunganmu kotor?
Lihat, bekas sarapanmu masih di sini, nggak langsung dibuang aja sih? Kamu itu
jorok, Emma,” katanya menasehati. Sayangnya, aku sudah kebal dengan segala
nasehat itu. Dan seperti biasa, aku hanya bia menjawab, “Iya, gue tahu.”
“Emma, kamu harus keluar kamar
sebentar. Menghirup udara segara bisa me-refresh
otak kamu yang suntuk. Percaya deh,” sarannya yang aku anggap sangat brilian.
“De, pinter juga kamu, ya? Okedeh,
bentar lagi aku pindah ke teras depan sambil bawa laptop setelah masak air buat
kopi. Aku butuh lihat bintang, nih, biar nggak suntuk,” kataku diikuti dengan
gelengan kepala Adeala.
“Emma, no coffee, please! Kebanyakan kopi nggak baik untuk kesehatan. Kamu
cuman butuh udara segar aja untuk bisa melek.
Tapi, jangan terlalu malam juga kamu mengerjakan laporan-laporan itu. Tubuh
kamu butuh istirahat. Metabolisme tubuhmu...” aku segera menyumpalkan headset ke dalam kedua telingaku
sementara Adeala terus berkicau. Aku mulai membereskan kertas-kertas yang
berserakan di lantai, membuang sampah-sampah, memanaskan air di heater sambil menuangkan sebungkus kopi
ke dalam cangkir yang masih terisi setengah gelas kopi. Aku suka sekali dengan
kopi. Yes, I’m addicted to it.
Sepertinya aku sudah kecanduan kafein.
“Emma, you don’t listen to me, do you?” tanya Adeala setelah melepas satu
buah headset dari telingaku. Aku
tersenyum sambil menggeleng. Sekali lagi Adeala mendesah putus asa.
“Emma, jangan memaksakan diri,” kata
Adeala kemudian dengan nada yang lebih halus.
“All
I need is only making it done, Adeala,” kataku sambil mengambil posisi pewe-ku di teras depan.
“Tapi ingat tubuhmu juga, Emma.
Kalau kamu sakit, kamu nggak bakal bisa menyelesaikan tugas-tugasmu, kan?”
Aku mengangkat tangan. “Oke, aku
menyerah. Aku akan segera selesaikan tugas-tugas ini. SEGERA,” aku memberikan
penekanan pada kata terakhirku. Adeala hanya menggelengkan kepalanya. “But, no coffee.” Adeala langsung merebut
gelasku. Aku hanya bisa menyaksikannya dengan pasrah.
Sebelum aku mulai mengetik, aku
melihat lautan bintang di atasku. Sangat indah dan sungguh membuatku terpana
sekaligus lega. Otakku seketika langsung mencair dari kebekuan. Namun, kebekuan
itu digantikan oleh memori-memori hangat yang sejak dulu meluap di otakku. Aku
ingin menangis, tapi air mataku benar-benar tertahan.
I
need Vino to be here.
“Kamu
jangan pernah ragukan perasaanku ke kamu. Aku selalu sayang sama kamu, asal
kamu tahu itu,” jelasnya dari seberang telepon. Aku mengusap air mataku.
“Tapi kenapa kamu malah ninggalin
aku? Kamu kira setelah ini kamu bakal sendiri terus? Kamu bakal punya cewek
lagi, kan? Jangan-jangan emang iya kamu lagi suka sama cewek lain sekarang,”
isakku. Lawan bicaraku hanya terdiam.
“Bukan begitu. Ada alasan lain dan
nggak bisa aku jelaskan di sini. Aku harus ketemu kamu.”
Kali ini aku yang terdiam. Waktu
terus berjalan dan aku tidak punya banyak waktu lagi. Aku tidak akan bisa
bertemu dengannya dalam waktu dekat ini.
“Aku cuman sayang sama kamu. Aku
cuman mau kamu. Dan aku nggak akan pernah ngelakuin hal seperti itu. Kita lihat
aja nanti,” tambahnya. Aku semakin terdiam.
“Kamu mau percaya, kan, sama aku?”
tanyanya kemudian. Aku masih terdiam. Aku menundukkan kepala dan menelan ludah.
Setelah mengucapkan basmalah, dengan
hati yang penuh aku menjawab, “Aku percaya.”
Tapi aku tak tahu apakah aku telah
membuat keputusan yang benar. Atau malah kesalahan yang fatal.
Adeala kembali menemukanku di dalam
kamar dengan keadaan berantakan. Tapi, kali ini berbeda. Aku mengeluarkan semua
barang-barang yang selama ini aku simpan di dalam lemari bagian bawah. Adeala
melihat benda-benda itu satu per satu.
“Apa ini?” tanyanya heran.
Aku membuka masker hidung dan
menjawab sambil tersenyum, “Ini semua memori, De.”
Adeala mengernyitkan dahi. Tapi
kurasa, ia paham maksudku. Ia mungkin tidak terlalu paham apa yang aku lakukan.
“What are you doing?”
“Membuang kenangan,” jawabku singkat
sambil terus membereskan benda-benda itu, memasukkan mereka satu per satu ke
dalam kardus. “Aku sudah nggak tahan, De.”
Adeala hanya bisa terdiam
memandangku. Kemudian, ia memungut sebuah botol dengan cairan berwarna biru.
“Gelembung sabun. Aku sudah lama nggak main yang beginian,” sahutnya sambil
meniupkan gelembung sabun itu. Aku menghela napas.
“Kamu mau? Tapi sayangnya, benda ini
juga harus dibuang,” kataku sambil merebut botol itu.
“You
are doing the right things, Emma. Kamu harus benar-benar move on. Your past is just a past. You have to see the bright future.
Lagipula kamu punya Vino, kan, sekarang?” kata Adeala lagi. Aku diam sejenak
dan kemudian mengangkat kedua bahuku.
“Aku cuman suka sama Vino. Nggak
pernah lebih dari itu. Lagipula dia cerita sendiri kalau dia sekarang lagi suka
sama cewek. For him, I’m just his
nice-friend-to-talk-to. Nggak lebih dari itu. Sedih, ya?” kataku menahan
air mata yang mendesak untuk jatuh.
Adeala memelukku dari belakang. “You are the strongest girl ever, Emma. Proud
of you so much.”
Aku balik memeluknya. “Aku nggak
sekuat yang Adeala bayangkan. Adeala nggak tahu bagaimana rapuhnya Emma, kan?
Hanya saja Emma bertahan demi orang-orang yang benar-benar sayang sama Emma.”
Aku benar-benar tidak bisa menahan
air mataku. Hatiku seperti meledak dan aku merasakan kesakitan yang kesekian
kalinya dalam beberapa waktu terakhir. Berbagai kenangan kembali muncul seiring
dengan jatuhnya air mata. Aku benar-benar berharap kenangan-kenangan itu juga
jatuh sederas air mata yang mengalir ini yang kemudian menguap pergi.
No comments:
Post a Comment