Click If You Want To Know

Monday, 5 May 2014

Kala Senja




Kala senja pagi itu,

   Di bawah langit merah jambu, tanpa sekelumit awan, hanya cahaya abadi bintang senja. Ketika mata-mata mulai terbuka, di sanalah perjalanan dimulai. Bau kopi pagi hari, bau rempah yang semerbak di sepanjang gang kecil, bunyi gemercik air mengalir, bahkan kokokkan ayam yang sahut menyahut menjadi bukti bahwa ada kehidupan yang menggantikan kematian semalam. 

   Ada senyum dan tawa menyambut harapan baru. Ada yang menyelinap pergi dan ada yang melambaikan tangan dengan senyum merekah. Ada cinta yang harus lepas, namun ada hati yang tak ingin beranjak. Ada pengharapan serta kekecewaan. Ada semangat membara dan kemudian melangkahkan kaki dengan mantap. Ada pelukan dan kecupan perpisahan. Betapa senja ini memunculkan berbagai pengharapan akan hidup yang lebih baik. Ia bermetafora menjadi sebuah kesempatan baru. Hanya sebuah dan kehadirannya sangat terbatas.

Ada yang bersujud, memeluk bayang seperti meminta pengampunan, menitikkan air mata, namun tersenyum. Tuhan memunculkan itu semua hanya dalam sebuah senja, sejenak namun bermakna. Ia menuntun yang pergi dan memeluk mesra yang menunggu. 

   Hadirnya senja kemudian melafalkan optimisme luar biasa, terbayang apa yang akan dilakukan sepagian, berharap masalah tak pernah datang meskipun ia membuntuti di belakang seperti bayang hitam. Hadirnya senja mengandung kemesraan Sang Kuasa yang luar biasa. Udara segar pagi hari, gemerlap cahaya yang samar muncul di ufuk timur, langit biru seperti atap alam tanpa batas, jejak langkah di atas tanah yang perlahan tersapu debu yang terbawa angin, embun yang menyelinap dari pucuk rerumputan.

Lalu, semua orang tahu bahwa semua itu menjadi kesia-siaan atau benar-benar menjadi keberuntungan yang luar biasa ketika...

Kala senja sore itu,

   Di bawah langit kuning-jingga, dengan garis-garis awan yang memesonakan setiap mata yang memandang. Jejak semangat kini menjadi jejak keraguan. Optimisme menjadi pesimisme dan ketidakyakinan. Hati yang saling bertaut, kini mengendur pelan. Senyum yang seharian ditorehkan kemudian berubah seperti lelah yang menakutkan. Bagi yang pergi, ia kembali menemukan jalan pulang. Bagi yang setia menungggu, ada pengharapan tak terbatas yang ia nantikan.

   Senja kemudian menjadi akhir perjalanan, penantian akan jawaban, sebuah keberhasilan atau kegagalan, syukur atau penyesalan. Senja kini memunculkan kegelapan yang bertahap, mengundang kematian. Bagi beberapa orang, ia menjadi sebuah kenyataan dari harapan, bagi sebagian orang senja ini waktunya merenungkan apa yang salah dan apa yang harus dipertahankan.

   Bagiku, senja ini menjadi bentuk rindu paling nyata, paling sesak, paling menyakitkan.

Kembali, senja menjadi tempat untuk bersujud, memeluk bayang seperti meminta pengampunan, menitikkan air mata, namun tersenyum. Tuhan memunculkan itu semua hanya dalam sebuah senja, sejenak namun bermakna.


No comments: