Saturday, 5 April 2014
Apa-Apa
Barangkali, itulah yang ingin disampaikan badai pertama bulan April.
Tak selamanya angin itu tenang. Tak selamanya cahaya itu terang. Tak selamanya hujan itu sendu. Alam seperti bermetamorfosa menjadi lawan bagi sebagian umat. Bagi sebagiannya lagi, alam seperti menyatu dalam jiwa. Petir yang menyambar menggambarkan apa-apa yang harus dimusnahkan. Debu yang terbawa angin, atau koloid yang terperangkap dalam bulir hujan. Mereka menjadi apa-apa yang ditunjukkan langit untuk kita lihat: bahwa dunia itu kejam jika kamu menganggap ia itu tenang. Bahwa tak selamanya yang kita pikirkan itu merupakan hukum alam yang mudah saja kamu elak sesuka hati.
Bahwa menjadi apa-apa itu bukan pilihan. Itu takdir alam. Bahwa melakukan apa-apa itu bukan takdir alam. Itu pilihan.
Aku berdiri di tengah angin, berharap ia menjadi pengusir apa-apa yang membebani. Lalu, mengantarkannya ke atas langit dan menggantungkannya menjadi harapan. Aku pikir ia akan bertahan di atas sana, menggantung, tinggal menunggu hujan membawanya kembali ke daratan dan menggapaiku kembali. Namun, badai menyulapnya menjadi petir yang menyambar, merusak. Petir yang mampu menghentakkan bumi dan menghentikan langkah. Kemudian menjadikannya raja yang mengatur langit abu-abu. Yang berkuasa penuh atas langit malam itu. Dan hujan kemudian menyucikannya. Membawa seluruh harapan ke hilir sungai, hingga akhirnya tenggelam ke dalam samudra.
Bahwa yang menjadi apa-apa kini bukan lagi rindu yang menusuk dada atau kenyataan yang memahitkan rasa, tapi apa-apa yang ingin terlepas, namun tertahan di sudut hati.
Bahwa aku-kamu atau kita sekalipun bukan lagi apa-apa.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment