Click If You Want To Know

Sunday 6 April 2014

Meskipun Sebenarnya

   "Berarti dia orangnya bijak."

   Satu kalimat yang akhirnya bisa membuat saya tersenyum. Ya, itu dia yang kami bicarakan. Satu hal dari dia yang rasanya membuat dada meluap ketika mendengarnya.

   Semakin saya mencoba memahami, semakin saya tidak mengerti. Semakin saya tidak mengerti semakin saya penasaran. Semakin saya penasaran, semakin saya tidak tenang. Semakin saya tidak tenang, semakin saya kepikiran, dan berujung pada kekhawatiran. Well, kekhawatiran yang sangat tidak perlu.

   Ketika pada suatu malam saya memutuskan untuk menyayangi seseorang, ada bagian dari diri saya yang 'terikat'.


   Kalau boleh saya analogikan, perasaan itu seperti ketika kita menguji daya kecambah suatu benih. Kita hanya mengecambahkan satu benih di antara 5 lembar kertas merang dengan Uji (di antara) Kertas Digulung dilapisi Plastik (UKDdP), terutup rapat namun terkondisikan dalam keadaan optimum untuk tumbuh (disesuaikan dengan kelembapan, suhu, maupun lingkungan tumbuh benih, dalam hal ini kertas merang). Kemudian ia digulung secara sempurna, diikat rapat oleh label kertas, dan diletakkan dalam alat pengecambah benih dengan kondisi optimum. Tinggal bagaimana selanjutnya kita menunggu agar satu-satunya benih tersebut tumbuh secara normal, meskipun ada kemungkinan ia membusuk terkena cendawan.

   Sama seperti yang saya rasakan. Perasaan itu 'tergulung' rapat seperti benih yang diuji menggunakan teknik UKDdP dan tergeletak begitu saja di ruang hati dengan label bertuliskan namanya, menunggu sampai akhirnya ia tumbuh. Ya, rasanya seperti ada perasaan yang mengikat, hanya saja kemudian perasaan itu sedikit mengendur pasrah meskipun sebenarnya tidak melepaskan pegangan, namun berancang-ancang untuk melepaskan suatu saat nanti, saat kami tidak bisa menahannya untuk pergi.

   Ancang-ancang itu yang kemudian membuat saya menahan segala perasaan dan membiarkan ia tumbuh pada zona terbatas, meskipun sebenarnya ada pengharapan tak terbatas meskipun ia sudah me-warning saya untuk tidak melangkah lebih jauh ke dalam, meski saya sendiri pun tidak ada niatan untuk melangkah ke dalam saat ini.

   "Maaf, aku nggak bisa bantu," jawabnya, entah seperti apa ekspresinya. Saya hanya membayangkannya bagaimana raut mukanya ketika mengucapkan kata-kata ini, atau bahkan gemetar tangannya yang bagi saya terlihat seperti menahan luapan emosi yang ada di hatinya. Bagi saya, itu pemandangan yang sangat menyesakkan.

   "Iya, nanti doakan aku jodoh sama dokter aja, ya," kata saya berusaha untuk meyakinkan dia bahwa saya paham ada batas di antara kami yang memang tidak sebaiknya saya sentuh. Meskipun sebenarnya seberapa tinggi saya berharap saya akan berjodoh dengan siapapun, mau pak dokter atau pak teknik atau pak ekonomi sekalipun, seberapa kuat saya menyukai orang lain, hati saya tetap memilih dia.

   Dan saya hanya bisa tersenyum seperti anak kecil, karena saya merasakan kembali cinta pertama setelah seperti "terlahir kembali" menjadi anak kecil yang baru mengenal dunia. Pada akhirnya, saya (kembali) melihat cinta pertama saya terbang dari genggaman.

   "Berarti dia orangnya bijak. Dia menomor-sekiankan perasaannya. Aku rasa dia termasuk orang yang percaya bahwa kalau jodoh, pasti bakal ketemu," kata teman saya suatu hari di sebuah perjalanan kami yang panjang dan melelahkan. Saya tersenyum mendengarnya. Saya rasa saya lebih mengenal dia daripada teman saya tersebut. Karena ada dalam diri saya yang menyakini sesuatu, sesuatu dibalik semua kata-katanya yang membuat saya harus sport hati, jantung, dan pikiran. Ada sejenis "kode" yang dia ingin sampaikan, namun harus tertahan. Sepertinya saya tahu apa "kode" itu.

   Dan semoga saya cukup bijak untuk membiarkannya terbang bebas, meskipun sebenarnya saya takut ada bagian sayapnya yang patah tanpa dia sedikitpun memberi isyarat. Semoga tidak. Semoga ia bisa terbang tinggi. Semoga semesta menghilangkan hambatan gravitasi untuknya agar ia mencapai puncak semesta yang ia tuju.

   Will you take a moment, promise me this. That you'll stand by me forever. But, if God forbid, fate should step in and forces us into a goodbye. If you have children someday, when they point to the pictures, please tell them my name. Tell them how the crowds went wild. Tell them how I hope they shine.

Long live, the walls we crashed through. I had time of my life with you. How the kingdom lights shined just for me and you. And I was screaming long live all the magic we made. Singing long live all the mountains we moved. I had a time of my life fighting dragons with you. And long long live the look on your face. And bring on all the pretenders, I'm not afraid. One day we will be remembered. 
-- Taylor Swift




No comments: