Dia melemparkan bola merah itu ke arahku. Sedangkan aku masih belum sepenuhnya berdiri tegak. Dan, bola itu berhasil menimpuk kepalaku cukup keras. Dia mendatangiku sambil tertawa kecil dan berkata, "Maaf, maaf. Nggak sakit, kan?"
Aku mengelus bagian kepalaku yang sedikit nyeri tanpa menjawab pertanyaannya. Bukan karena aku kesakitan, tapi karena aku tidak bisa. Karena sejujurnya, bukan hanya kepalaku yang sakit, tapi juga jantungku tak henti-hentinya berdetak keras.
Dan dia bukannya menolongku, malah membawa bola itu dan pergi.
Aku tahu, tak seharusnya aku menyukainya.
Aku tahu, tak seharusnya aku menyukainya.
Kata Denda, percuma aku menunggu hatinya karena hatinya kini termerger dengan hati seorang perempuan. Hati itu telah melebur menjadi satu kesatuan yang nyata. Yang kini aku bisa lihat sendiri. Banyak yang bilang, mereka bagaikan tulang rusuk yang menemukan sepotong rusuknya yang hilang. Atau sekelompok puzzle yang menemukan kunci terakhirnya. Cocok dan saling melengkapi.
Sering sekali adegan di film-film mendadak hadir di depan mata kepalaku. Aku sudah kebal dengan rasa sakit. Sudah terlalu banyak obat bius yang disuntikan kepadaku. Sudah mati rasa rasanya. Tapi, tak bisa dipungkiri bahawa sesekali obat bius itu tak bereaksi. Dan terkadang Denda harus menemukanku terkapar oleh rasa sakit itu.
Suatu ketika, aku membawa seikat bunga mawar putih untuk keperluan drama kelas. Tiba-tiba saja, ia muncul di hadapanku dan menatap ikatan bunga itu seperti anak kecil yang penasaran akan benda yang aku bawa ini.
"Ini bunga siapa?" tanyanya dengan muka sok polos.
"Punya kelompok. Ada apa?"
"Pinjem satu, ya?" ijinnya dan langsung ia ambil satu tangkai dari ikatannya tanpa perlu mengkonfirmasi dariku.
Ia terlihat asyik bercanda bersama teman-temannya dengan bunga itu. Sampai, cewek itu datang. Dan ia kemudian berdiri di hadapannya ceweknya sambil menyembunyikan mawar putih itu di belakang punggungnya. Ceweknya memandangnya heran. Tak lama, ia mengeluarkan mawar itu. Suasana kelas riuh seketika. Aku sudah biasa, sudah biasa.
Cewek itu terlihat canggung. Ia hanya tersipu dan kemudian menyerahkan benda kecil yang digenggamnya sedari tadi kepada cowoknya dan menyingkir dari kelas. Gista, cewek paling ramai di kelas, menggodanya tak henti-hentinya. Cowok itu tersipu senang. Dan mendadak, kipas angin di dalam kelas bahkan tidak dapat mendinginkan kepalaku.
Sekali lagi, aku mendapati mereka berdua terduduk saling diam di depan kelas. Si cowok memegang tangan si cewek dan si cewek seperti terlihat habis menangis. Hanya ada beberapa anak yang melewati mereka tanpa bersuara, sedangkan aku bersembunyi di balik pintu. Mengais sisa-sisa suara yang mungkin akan terdengar. Dan sayup-sayup aku mendengarkan suara pelan mereka.
"Aku capek kamu cuekin terus. Aku minta maaf sudah nyakitin kamu. Maaf, aku sudah salah. Kamu mau maafin aku, kan?" tanya si cowok dengan nada paling serius yang pernah ku dengar.
Tak ada jawaban yang bisa aku tangkap. Entah mungkin si cewek tak menjawab ataukah suaranya terlalu pelan. Tapi, aku mendapati desahan yang cukup panjang tak lama setelah cowok itu mengakhiri permintaannya. Setelah itu, aku hanya mendapati sayup-sayup kata-kata dalam bahasa Inggris. Aku semakin menunduk. Aku tak mengerti apa yang ia katakan. Jadi, percuma saja aku diam di balik pintu. Akhirnya, aku memutuskan untuk pergi meninggalkan mereka dengan hati yang tentu saja remuk redam.
Tak pernah disangka, seorang cewek gaul dengan kemampuan akademis rata-rata bisa jadian dengan seorang cowok kurus, hitam, dengan kemampuan akademis tak disangka-sangka. Ya, benar. Mereka benar-benar saling melengkapi.
"Hey, Fina! Dilarang melamun di dalam kelas!" Tiba-tiba saja ia muncul di hadapanku. Aku hanya tersenyum seadanya.
"What are you doing?" tanyanya kemudian.
"Daydreaming," jawabku dengan bahu terangkat. Dan ia tertawa kecil.
"Do anything else! You like reading book, don't you?"
Aku mengangguk. "But, it's not kind of this book," kataku sambil melemparkan buku PKN setebal buku best seller yang ada di toko buku.
"Well, you should catch up your previous score. You have promised me, haven't you?"
Aku tersenyum. Entah senyum apa yang kutampilkan. Tapi, aku cukup bahagia.
"I will fix it all up. I promise you. But, please, I don't feel like reading this book. Next time, I will."
Dia mengangguk. "Okay, good luck! I know you can do that." Sekali lagi aku tersenyum.
"Oh, can I say something to you?" katanya tiba-tiba. Aku mengangguk penasaran.
"It's nice to have this kind of conversation with you. Your English is not that bad."
Suddenly, I'm flushing. "Me, too. And you're such a nice 'friend' to talk to."
Aku tak melihat seperti apa wajahnya ketika aku mengatakan demikian. Karena kepalaku menunduk dan tak berani menatapnya. Begitu aku mengangkat kepala, ia sudah kembali menemui ceweknya. Aku mencubit lenganku. Sakit, berarti yang barusan bukan mimpi.
Dan aku hanya bisa mengaguminya dari jarak ini saja. Cukup dari sini saja.
No comments:
Post a Comment