First time, I knew my short stories aren't on the list of the winners. But, when I saw a photo on the announcement page, I READ something that surprised me a lot! Well, I didn't expect this happen to me!
So, that photo is picturing two committee that seems busy doing something with their laptop. And their background is a white board which the list of the big 18 short stories are written on. I tried to read each title there. And I found THIS POST TITLE is mentioned on the first number! Gooossshhh!! I screamed instantly! It means: I passed the big 18!!! Alhamdulilaaah, what a lucky day!
I don't know what makes the committee choose my short story to be the best 18. When I was home, I read my short story again, and I feel it's just nothing. I don't feel it's really a special story, although it mostly based on a true story. Yeah, it's hard for me to make fiction stories.
And the last, I want to say my big thank you to someone who become my BEST inspiration. Thank you, dear :*. And also my VERY BIG thank you to something that inspired me to made it became the main character of the story. Thank you sooooooo much!
Just like my previous post, I share it to you all. And please, please, pleeeeaaaassseee give me your comments about my story! Give your opinion, do you agree that it becomes the big 18 from 800 short stories?
SI
MOTOR BUTUT
Pernahkah terbesit di benak kalian,
mengapa aku diciptakan?
Mungkin sebagian besar akan
menjawab, “Untuk memudahkan manusia menuju suatu tempat.” Atau mungkin ada juga
yang menjawab, “Sebagai pemenuhan kebutuhan sekunder.” Atau mungkin satu atau
dua orang akan menjawab, “Karena perkembangan teknologi yang memaksamu untuk
lahir dan mengabdi pada manusia.”
Sayangnya, tak pernah terbesit
jawaban-jawaban tersebut di pikiranku.
Aku merasa diciptakan dan terlahir
untuk manusia, bukan hanya untuk memudahkan mereka, tapi juga bagian dari hidup
mereka. Tanpa mereka sadari, aku sering terlibat dalam momen-momen penting
mereka, sesuatu yang akan mereka kenang seumur hidup mereka. Meski hanyalah
berperan sebagai sebuah alat, tapi aku merasa diriku berperan penting. Aku
adalah salah satu yang hidup dalam kenangan mereka.
Aku tahu bagaimana majikanku akan
memperlakukanku. Meski begitu, aku menganggap mereka juga bagian dari
kenanganku, bagian dari kehidupanku. Tanpa mereka, aku tidak akan hidup dan menjalani
fungsi utamaku. Siapapun majikanku, dialah yang akan menjadi bagian dari
kehidupanku.
***
Alan adalah majikan pertamaku. Ia
sangat senang dan bangga ketika melihatku. Alan yang masih siswa SMP ternyata
sudah mahir bermain-main denganku. Bahkan, ia sering membawaku mengitari
jalanan kota. Sayangnya, Ayah belum mengizinkannya untuk membawaku ke sekolah.
Aku dan Alan sedikit kecewa, tapi memang Alan masih belum cukup umur untuk
membawaku di jalanan. Tapi untuk urusan tertentu, ia sering memintaku untuk
menemaninya. Aku merasa sangat dekat dengan Alan, layaknya sahabat.
Dan ketika ia duduk di bangku SMA,
akhirnya Ayah mengijinkan Alan untuk membawaku. Umurnya baru 16 tahun.
Sebenarnya masih belum cukup umur, tapi sepertinya Alan mulai tidak suka diantar
jemput. Ia ingin belajar mandiri.
Dan aku senang sekali melihatnya
kini berpakaian putih abu-abu, yang menurutku adalah sebuah simbol keremajaan
yang sesungguhnya. Semakin hari, ia semakin tumbuh dewasa. Hingga pada suatu
hari, aku menemukan suatu perubahan dalam dirinya.
Hari itu panas menyengat. Hampir
tidak kutemukan sekelumit awan yang bermain di atasku. Alan buru-buru menuju ke
arahku ketika tiba-tiba ia melihat sesuatu jauh di belakangku. Dari kaca spion,
aku melihat seorang gadis sedang kebingungan menghadapi sepedanya. Alan segera
menemui gadis itu dan mencoba membantunya. Namun, sepertinya sia-sia. Si gadis
memutuskan untuk menuntun sepedanya. Alan kembali buru-buru menuju ke arahku
dan ia segera menyusul gadis itu.
“Ke bengkel depan ini aja,”
sarannya. Si gadis hanya mengangguk. Aku tahu ia pasti sangat kesal. Alan
menatapnya kasihan. “Kamu nggak apa-apa sendirian?”
“Nggak apa-apa. Udah biasa kok
apa-apa sendirian,” jawabnya dengan senyum manis yang mengembang. Alan
tersenyum tipis, kemudian ia pamit. Kami meninggalkan gadis itu sendirian.
Aku lega akhirnya kami bisa cepat
pulang karena hari sudah sangat panas dan aku sudah tidak tahan lagi.
Dan ketika kami sudah agak jauh dari
sekolah, Alan berputar dan berbelok ke gang kecil di belakang sekolah. Ini
bukan jalan pulang ke rumah, Alan! Aku sedikit panik. Tak lama, kami sampai di
jalan besar depan sekolah.
Sekali
lagi aku melihat sosok gadis itu. Berdiri dengan anggun sambil memandangi
sepedanya yang diutak-atik oleh seorang montir. Ia sedikit terkejut melihat
kami berdua.
“Aku
pikir kamu pulang,” katanya terkejut. Alan nyengir. Aku mendengus kesal. Untuk
apa ia menemui gadis itu lagi, pikirku. Namun, setelah memperhatikan
gerak-gerik Alan, akhirnya aku sadar. Alan kini telah mendekati kedewasaan.
Menurutku, ia sedang jatuh cinta. Pada gadis di depanku ini. Aku memandang Alan
takjub. Ia menjadi sangat perhatian pada gadis itu. Sikapnya juga sangat asing
bagiku, bukan seperti Alan yang kukenal.
Dan
sejak saat itu, aku merasa Alan sedikit berbeda. Memang benar kata orang, cinta
dapat mengubah seseorang yang kita kenal menjadi mahluk aneh yang tidak kita
kenal. Alan jadi lebih sering melamun dan memperhatikan handphonenya. Apakah
ini efek dari jatuh cinta, gumamku penasaran. Aku tahu, Alan menyukai gadis itu
diam-diam. Setiap mereka berpapasan di tempat parkir, Alan selalu mengamati
setiap detail gerak-geriknya, layaknya seorang detektif yang mengamati target
sasarannya. Aku selalu tertawa melihatnya, tapi juga kasihan. Sering aku
menyuruhnya untuk mengungkapkan perasaannya pada gadis itu, tapi Alan masih
kurang yakin dengan dirinya sendiri.
Sebenarnya,
aku ingin sekali bisa membawa mereka melanglangbuana ke sudut-sudut kota. Atau
mungkin hanya sekedar menemani Alan untuk mengantar gadisnya ke suatu tempat.
Namun, ia hampir tidak pernah mempertemukan kami. Hanya sekali aku diberi
kesempatan untuk membantu Alan. Ketika itu, gadisnya baru selesai menghadiri
acara sekolah. Awalnya, Alan ragu untuk menawarkan diri mengantarnya pulang.
Namun, begitu kami hampir mendekati si gadis, aku memposisikan mencengkram
rodaku ke tanah agar berhenti tepat di sebelah gadis tersebut. Tanpa bisa
mengelak, akhirnya Alan menawarkan diri. Dan tawaran tersebut disambut hangat
oleh si gadis. Tuh kan, jangan buru-buru nggak pede dulu, kataku dalam hati
pada Alan. Malam itu adalah malam yang berkesan bagi Alan.
***
Suatu
hari, Alan mengajak gadis itu keluar. Kami berputar mengelilingi kota. Hingga
akhirnya kami sampai di sebuah taman kota. Mereka asyik menikmati jagung bakar
sambil memandangi bintang-bintang. Langit malam itu sangat cerah. Dan ketika
mereka asyik menikmati pemandangan malam, Alan bertanya dengan nada sedikit
serius, “Boleh aku bilang sesuatu?”
Gadis
itu terkejut mendengar pertanyaan Alan, kemudian bertanya balik, “Memangnya
kamu mau bilang apa?”
“Aku
mau bilang... Terima kasih.,” jawab Alan. “Terima kasih karena kamu berkenan
hadir dalam kehidupanku. Terima kasih karena kamu mau berteman denganku dan
memberiku kesempatan untuk bisa dekat denganmu. Terima kasih sudah menjadikanku
seorang sahabat. Terima kasih kamu mau berbagi cerita, berbagi kesedihan, maupun
berbagi kegembiraan denganku. Aku sangat menyukai momen-momen bersamamu. Setiap
detiknya akan sangat berharga untukku. Dan malam ini, aku ingin menjadi malam
yang spesial untukku, untuk kita berdua khususnya.”
Alan
mengambil napas panjang, kemudian melanjutkan kata-katanya, “Aku ingin
bintang-bintang menjadi saksi kita berdua malam ini. Saksi bahwa aku, Alandis
Nur Nasution, ingin menjadikan gadis cantik di hadapanku ini, Shahnaz Bian
Cantika, sebagai pacar pertama, dan semoga saja yang terakhir. Anas, aku
sungguh menyukaimu dari lubuk hatiku yang paling dalam. Dan maukah kau menjadi
kekasih hatiku?”
Suasana
hening cukup lama. Gadis bernama Anas itu menunduk lama. Alan menunggu dengan
sabar.
“Haruskah
aku menjawab sekarang?” tanya Anas masih menunduk.
Alan
menghembuskan napas berat. “Masih mau berpikir?” tanyanya.
Anas
diam sebentar, kemudian menjawab sambil tersenyum, “Aku hanya perlu waktu untuk
mencari kata-kata untuk jawabanku.”
“Tidak
perlu kata-kata rumit. Cukup dengan ‘aku bersedia’ atau ‘tidak’ atau bahkan
‘maaf’ saja sudah jawaban yang cukup untukku,” kata Alan. Anas tersenyum sambil
mengangkat wajahnya.
“Tentu
saja aku bersedia menjadi pelabuhan hatimu. Apakah jawaban itu cukup untukmu?”
tanyanya dengan senyum bahagia. Alan tertawa kecil. “Sangat cukup,” jawabnya.
Aku
ingin melonjak kegirangan melihat keduanya. Dan mungkin akulah satu-satunya
yang bisa merasakan luapan kebahagiaan Alan. Ia tak pernah berhenti tersenyum,
bahkan ketika kami sampai di rumah. Shera, adik Alan, sampai bingung melihat
perubahan suasana Alan malam itu. Tapi sayangnya, Alan tidak mau berbagi
kebahagiaan dengan adiknya. Ia memang kakak yang sangat pelit.
Meski
akhirnya mereka bersama, tapi tetap saja Alan tidak pernah berangkat bersama
pacarnya. Aku sering menyuruhnya, namun ia berlagak cuek. Namun, jika Anas
tidak sedang membawa sepedanya, Alan mengantarnya sampai rumah. Atau terkadang
mereka keluar bersama ke suatu tempat, menghabiskan waktu berdua di sela-sela
kesibukan sekolah yang padat. Cukup lama mereka bertahan. Dan selama yang aku
tahu, mereka baik-baik saja, tidak pernah ada masalah yang mengganggu mereka.
Hal
yang paling aku kesalkan dari Alan adalah ia menyembunyikan Anas dari
keluarganya. Entah apa alasannya. Ia selalu pintar mencari alasan ketika akan
keluar bersama pacarnya itu. Awalnya aku merasa bersalah, tapi lama-lama aku
terbiasa bermain ‘kucing-kucingan’ bersama Alan.
Hingga
tak terasa, mereka berdua telah menjadi siswa senior di SMA. Dalam hitungan
bulan, mereka lulus dan menjadi mahasiswa dan mahasiswi. Mereka kini semakin
jarang keluar bersama karena masing-masing sibuk mempersiapkan diri. Kata Alan,
untuk menjadi seorang dokter diperlukan usaha yang sungguh-sungguh. Alan
sendiri sibuk les sana-sini, mungkin begitu pula dengan Anas.
***
Tahun berlalu sangat cepat. Alan
menjadi mahasiswa kedokteran di universitas ternama. Ia meninggalkan kota
kelahirannya untuk menjadi dokter yang hebat. Sedangkan Anas menjadi mahasiswi
kedokteran gigi di universitas yang berbeda dan juga harus meninggalkan kota
ini. Mereka terpisahkan oleh jarak, tapi mereka tetap bertahan.
Dan aku masih bersama keluarga Alan.
Kali ini Shera yang sering menggunakanku untuk pergi ke sekolah yang sama
dengan Alan dulu. Keadaan sekolah itu berbeda sekarang, lebih bagus. Aku sering
rindu saat-saat bersama Alan dulu. Rindu sekali. Kenangan itu terasa nyata.
Setelah Shera lulus, Ayah memutuskan
untuk menjualku. Kini aku punya majikan baru. Ia masih duduk di bangku SMP,
namanya Gilang. Berbeda dengan Alan dulu, ia masih dalam tahap belajar. Tapi
aku siap menemani hari-harinya. Aku siap membangun kenangan bersama Gilang. Aku
merasa seperti baru dilahirkan kembali.
Dan aku siap memulai kehidupanku
lagi.
No comments:
Post a Comment