Aku
mendengar derap pelan sebuah langkah dan kemudian mencoba berpaling ke sumber
suara. Seorang gadis seperti kebingungan mencari sesuatu di antara jenisku.
Namun, beberapa detik kemudian, mata kami beradu. Ia menatapku, kemudian melirik
namaku. Ia tersenyum puas.
Sepertinya aku
yang ia cari, tapi mengapa? Aku tidak ingat pernah bertemu gadis ini
sebelumnya.
“Sepertinya
ia datang pagi sekali. Benar-benar anak rajin,” ucap gadis itu pelan, nyaris
sangat pelan hingga orang yang berada tidak jauh dari tempatnya berdiri sama
sekali tidak menyadari bahwa ia sedang berucap. Aku semakin bingung, aku tidak
mengerti.
Lambat
laun, ia meninggalkanku yang tetap berada di posisiku, kebingungan. Paling tidak,
aku punya waktu berpikir jauh lebih banyak sekarang.
***
Aku
terkesan ketika melihat segerombolan orang-orang yang memakai beragam jenis jas
almamater, mulai dari warna, hingga logo yang ada di sakunya. Setiap tahun,
budaya ini selalu ada. Ya, setiap awal tahun baru seperti ini, kakak-kakak
alumni sekolah ini berdatangan, mengenalkan satu per satu almamater baru mereka
pada adik-adik kelasnya, mengajak bergabung memakai jas almamater yang sama.
Ingin sekali bisa didatangi oleh mereka, mengenal kampus mereka satu per satu.
Tapi, aku harus bersabar hingga tahun depan. Ya, setahun lagi kakak-kakak itu
akan masuk ke kelasku.
“Keren,
ya, mereka yang sudah kuliah. Pakai jas alamater, bangga deh rasanya pasti,”
ujar Rani yang berdiri di sampingku. Aku tersenyum dan mengangguk.
“Dua
tahun lagi kita akan seperti itu, Ran! Nggak sabar rasanya! Pasti menyenangkan,”
kataku lebih bersemangat lagi. Kami sama-sama terkikik.
“Oya,
kakakmu nggak ke sekolah lagi?” tanya Rani kemudian.
“Nggak,
Ran. Dia aktivis kampus. Sudah jarang pulang ke rumah. Sibuk terus sama
kegiatannya. Biasa, kalau cowok emang susah disuruh pulang ke rumah kalau
keasyikan organisasi,” jelasku.
“Kakakmu
itu keren, La. Udah pinter, aktif lagi di kampus,” kata Rani dengan nada
memuji. Aku tidak heran banyak yang menyebutkan banyak hal positif tentang
kakakku. Hampir semua guru di sini tidak percaya aku adalah adiknya. Wajah kami
tidak terlalu mirip, nama kami pun tidak ada embel-embel nama ayah atau
identitas apapun yang menunjukkan bahwa kami memang bersaudara. Kecuali, Kartu
Keluarga yang dikeluarkan Kantor Kecamatan atau akte kelahiran yang menunjukkan
bahwa kami berasal dari satu ayah dan satu ibu atau hasil uji Lab tes DNA.
Bosan aku dengan
topik ketidakpercayaan guru-guru dan staf di sekolah ini. Mungkin, aku harus
tes DNA dulu agar mereka percaya. Tapi untunglah, masalahnya tidak sebesar itu.
Maksudku, aku tidak perlu benar-benar membuktikan pada semua orang di sini
bahwa aku adik kakakku. Toh, kami berdua di sini sama-sama tidak terlalu
terkenal. Urusan itu jelas bukan masalah yang akan mempengaruhi nama sekolah.
Gerombolan
anak-anak kampus tersebut semakin lama semakin berkurang, mungkin sudah mulai
berpencar ke kelas-kelas. Aku mengamati jas almamater mereka dari kejauhan,
berusaha menemukan satu logo universitas yang aku cari. Mungkin aku akan
menemukan seseorang yang aku kenal.
***
Semakin
aku berpikir, semakin aku tidak mengerti. Siapa
gadis itu, tanyaku dalam hati. Aku berusaha mengingat-ingat setiap kejadian
atau peristiwa dalam hidupku, dari yang paling penting hinggga hal-hal kecil.
Tapi, sepertinya aku teringat suatu hal. Aku berusaha menajamkan pengingatanku.
Mungkinkah aku pernah menabrak gadis itu? Atau kami bertemu di suatu tempat
yang lain?
Lima
belas menit kemudian, ia kembali melintas di depanku. Kali ini, ia benar-benar
berhenti tepat satu meter di depan hidungku. Matanya memancarkan kerinduan
ketika melihatku. Rindu? Bahkan aku belum tahu siapa gadis itu!
Ia
berusaha menggapaiku, tapi tangannya tertahan. Telapak tangannya terkepal kuat.
“Apa
kabar?” tanyanya tiba-tiba, membuatku semakin tidak mengerti. “Kita sudah lama
tidak bertemu. Kamu tidak banyak berubah, ya.”
Aku
terdiam, tidak tahu harus menjawab apa. Aku tidak mengenalnya. Mungkin gadis ini salah orang, batinku.
“Kita
terakhir bertemu Juni dua tahun yang lalu. Ah, pasti kamu tidak ingat. Bahkan
kamu melihatku seperti orang asing. Ya, aku benar-benar asing sekarang. Pantas saja kamu tidak akan ingat,” katanya maklum.
“Semoga tuanmu tetap mengingatku. Ah, maksudku tuan yang lama.”
Tuan... yang lama? tanyaku dalam hati.
Aku tidak paham apa yang ia ucapkan.
Tak
lama, ia tertawa pelan. “Aku pikir aku akan lupa denganmu, PSD. Aku pikir kamu
akan berubah. Ternyata...” ucapannya terpotong selagi ia mengamatiku dari atas
ke bawah. “... kamu tidak berubah. Sedikitpun tidak.”
Kemudian
ia mulai beranjak pergi. Sebelum itu, ia sempat memandangku untuk yang terakhir
kali, dengan tatapan lekat penuh pengharapan. Sejenak, ia bergumam pelan, “Semoga
akan ada suatu saat nanti kamu menemani kami
lagi.” Dan, setelah itu ia benar-benar pergi.
Aku
tetap tidak mengerti.
Aku
berharap ia bernostalgia di sekolah ini sambil mengitari seluruh bagian sekolah,
hingga sampai di depan kelasku. Aku ingin sekali bertemu dengan orang yang
sudah memberikanku boneka setahun yang lalu. Aku ingin memandang wajahnya, paling
tidak dari kejauhan. Aku rasa ia tidak akan mau berbincang denganku. Lagipula,
kami akan berbincang tentang apa? Kakak? Tidak mungkin.
Hingga
waktu pulang tiba, aku tidak bertemu dengan sosok itu. Aku benar-benar harus
cepat pulang. Untung saja sepedaku diparkir di bagian yang sangat mudah untuk
keluar. Cepat-cepat aku menaiki sepeda motor bututku, mengencangkan helm yang
punya bau aneh ini, menghidupkan mesin, meninggalkan tempat parkir. Sore nanti,
jadwalku sangat padat. Aku tidak boleh kehilangan waktu mencicipi masakan mama
sedikit pun. Sepertinya, mama memasak masakan yang sangat spesial hari ini.
Dan...
baru beberapa jam yang lalu aku mendapat sms. Kakak pulang. Pasti ia punya
banyak cerita kali ini.
***
Aku benar-benar terkejut ketika melihatnya menyambutku di depan pintu. Matanya bersinar penuh keceriaan ketika melihat kami pulang.
"Kakak!" teriak Arla nyaring, sungguh memekakkan pendengaranku. Aku pun berusaha tidak kalah gembira. "Hey, bos! Kau semakin kurus saja," sahutku. "Ah, seharusnya kau punya seseorang di sana untuk merawatmu."
Tunggu dulu. Aku merasa ada yang aneh. Sepertinya aku mulai mengenal gadis itu.
***
Aku benar-benar terkejut ketika melihatnya menyambutku di depan pintu. Matanya bersinar penuh keceriaan ketika melihat kami pulang.
"Kakak!" teriak Arla nyaring, sungguh memekakkan pendengaranku. Aku pun berusaha tidak kalah gembira. "Hey, bos! Kau semakin kurus saja," sahutku. "Ah, seharusnya kau punya seseorang di sana untuk merawatmu."
Tunggu dulu. Aku merasa ada yang aneh. Sepertinya aku mulai mengenal gadis itu.
Nope.
I know it’s not you who really want to meet, it’s absolutely me who is missing you.
I
hope I can play the piano for you while singing ‘Happy
Birthday’ to you.
Regard,
your stranger.
No comments:
Post a Comment