Click If You Want To Know

Wednesday 19 February 2014

Seseorang


            Aku mendengar derap pelan sebuah langkah dan kemudian mencoba berpaling ke sumber suara. Seorang gadis seperti kebingungan mencari sesuatu di antara jenisku. Namun, beberapa detik kemudian, mata kami beradu. Ia menatapku, kemudian melirik namaku. Ia tersenyum puas.
Sepertinya aku yang ia cari, tapi mengapa? Aku tidak ingat pernah bertemu gadis ini sebelumnya.
            “Sepertinya ia datang pagi sekali. Benar-benar anak rajin,” ucap gadis itu pelan, nyaris sangat pelan hingga orang yang berada tidak jauh dari tempatnya berdiri sama sekali tidak menyadari bahwa ia sedang berucap. Aku semakin bingung, aku tidak mengerti.
            Lambat laun, ia meninggalkanku yang tetap berada di posisiku, kebingungan. Paling tidak, aku punya waktu berpikir jauh lebih banyak sekarang.
***

            Aku terkesan ketika melihat segerombolan orang-orang yang memakai beragam jenis jas almamater, mulai dari warna, hingga logo yang ada di sakunya. Setiap tahun, budaya ini selalu ada. Ya, setiap awal tahun baru seperti ini, kakak-kakak alumni sekolah ini berdatangan, mengenalkan satu per satu almamater baru mereka pada adik-adik kelasnya, mengajak bergabung memakai jas almamater yang sama. Ingin sekali bisa didatangi oleh mereka, mengenal kampus mereka satu per satu. Tapi, aku harus bersabar hingga tahun depan. Ya, setahun lagi kakak-kakak itu akan masuk ke kelasku.
            “Keren, ya, mereka yang sudah kuliah. Pakai jas alamater, bangga deh rasanya pasti,” ujar Rani yang berdiri di sampingku. Aku tersenyum dan mengangguk.
            “Dua tahun lagi kita akan seperti itu, Ran! Nggak sabar rasanya! Pasti menyenangkan,” kataku lebih bersemangat lagi. Kami sama-sama terkikik.
            “Oya, kakakmu nggak ke sekolah lagi?” tanya Rani kemudian.
            “Nggak, Ran. Dia aktivis kampus. Sudah jarang pulang ke rumah. Sibuk terus sama kegiatannya. Biasa, kalau cowok emang susah disuruh pulang ke rumah kalau keasyikan organisasi,” jelasku.
            “Kakakmu itu keren, La. Udah pinter, aktif lagi di kampus,” kata Rani dengan nada memuji. Aku tidak heran banyak yang menyebutkan banyak hal positif tentang kakakku. Hampir semua guru di sini tidak percaya aku adalah adiknya. Wajah kami tidak terlalu mirip, nama kami pun tidak ada embel-embel nama ayah atau identitas apapun yang menunjukkan bahwa kami memang bersaudara. Kecuali, Kartu Keluarga yang dikeluarkan Kantor Kecamatan atau akte kelahiran yang menunjukkan bahwa kami berasal dari satu ayah dan satu ibu atau hasil uji Lab tes DNA.
Bosan aku dengan topik ketidakpercayaan guru-guru dan staf di sekolah ini. Mungkin, aku harus tes DNA dulu agar mereka percaya. Tapi untunglah, masalahnya tidak sebesar itu. Maksudku, aku tidak perlu benar-benar membuktikan pada semua orang di sini bahwa aku adik kakakku. Toh, kami berdua di sini sama-sama tidak terlalu terkenal. Urusan itu jelas bukan masalah yang akan mempengaruhi nama sekolah.
            Gerombolan anak-anak kampus tersebut semakin lama semakin berkurang, mungkin sudah mulai berpencar ke kelas-kelas. Aku mengamati jas almamater mereka dari kejauhan, berusaha menemukan satu logo universitas yang aku cari. Mungkin aku akan menemukan seseorang yang aku kenal.
      
***      
            Semakin aku berpikir, semakin aku tidak mengerti. Siapa gadis itu, tanyaku dalam hati. Aku berusaha mengingat-ingat setiap kejadian atau peristiwa dalam hidupku, dari yang paling penting hinggga hal-hal kecil. Tapi, sepertinya aku teringat suatu hal. Aku berusaha menajamkan pengingatanku. Mungkinkah aku pernah menabrak gadis itu? Atau kami bertemu di suatu tempat yang lain?
            Lima belas menit kemudian, ia kembali melintas di depanku. Kali ini, ia benar-benar berhenti tepat satu meter di depan hidungku. Matanya memancarkan kerinduan ketika melihatku. Rindu? Bahkan aku belum tahu siapa gadis itu!
            Ia berusaha menggapaiku, tapi tangannya tertahan. Telapak tangannya terkepal kuat.
            “Apa kabar?” tanyanya tiba-tiba, membuatku semakin tidak mengerti. “Kita sudah lama tidak bertemu. Kamu tidak banyak berubah, ya.”
            Aku terdiam, tidak tahu harus menjawab apa. Aku tidak mengenalnya. Mungkin gadis ini salah orang, batinku.
            “Kita terakhir bertemu Juni dua tahun yang lalu. Ah, pasti kamu tidak ingat. Bahkan kamu melihatku seperti orang asing. Ya, aku benar-benar asing sekarang. Pantas saja kamu tidak akan ingat,” katanya maklum. “Semoga tuanmu tetap mengingatku. Ah, maksudku tuan yang lama.”
            Tuan... yang lama? tanyaku dalam hati. Aku tidak paham apa yang ia ucapkan.
            Tak lama, ia tertawa pelan. “Aku pikir aku akan lupa denganmu, PSD. Aku pikir kamu akan berubah. Ternyata...” ucapannya terpotong selagi ia mengamatiku dari atas ke bawah. “... kamu tidak berubah. Sedikitpun tidak.”
            Kemudian ia mulai beranjak pergi. Sebelum itu, ia sempat memandangku untuk yang terakhir kali, dengan tatapan lekat penuh pengharapan. Sejenak, ia bergumam pelan, “Semoga akan ada suatu saat nanti kamu menemani kami lagi.” Dan, setelah itu ia benar-benar pergi.
            Aku tetap tidak mengerti.

***
            Aku berharap ia bernostalgia di sekolah ini sambil mengitari seluruh bagian sekolah, hingga sampai di depan kelasku. Aku ingin sekali bertemu dengan orang yang sudah memberikanku boneka setahun yang lalu. Aku ingin memandang wajahnya, paling tidak dari kejauhan. Aku rasa ia tidak akan mau berbincang denganku. Lagipula, kami akan berbincang tentang apa? Kakak? Tidak mungkin.
            Hingga waktu pulang tiba, aku tidak bertemu dengan sosok itu. Aku benar-benar harus cepat pulang. Untung saja sepedaku diparkir di bagian yang sangat mudah untuk keluar. Cepat-cepat aku menaiki sepeda motor bututku, mengencangkan helm yang punya bau aneh ini, menghidupkan mesin, meninggalkan tempat parkir. Sore nanti, jadwalku sangat padat. Aku tidak boleh kehilangan waktu mencicipi masakan mama sedikit pun. Sepertinya, mama memasak masakan yang sangat spesial hari ini.
            Dan... baru beberapa jam yang lalu aku mendapat sms. Kakak pulang. Pasti ia punya banyak cerita kali ini.

***
            Aku benar-benar terkejut ketika melihatnya menyambutku di depan pintu. Matanya bersinar penuh keceriaan ketika melihat kami pulang.
            "Kakak!" teriak Arla nyaring, sungguh memekakkan pendengaranku. Aku pun berusaha tidak kalah gembira. "Hey, bos! Kau semakin kurus saja," sahutku. "Ah, seharusnya kau punya seseorang di sana untuk merawatmu."
            Tunggu dulu. Aku merasa ada yang aneh. Sepertinya aku mulai mengenal gadis itu.

--------------

Nope. I know it’s not you who really want to meet, it’s absolutely me who is missing you.
I hope I can play the piano for you while singing ‘Happy Birthday’ to you.
Regard, your stranger.


No comments: