Click If You Want To Know

Tuesday, 19 February 2013

Untuk Seorang Adik

   Well, I made this short story based on what was on my mind as a sister that dreamed to have a nice and great brother like on the story. Yeah, well, for a little sister who has a lovely brother, this story is for you. :)

   Enjoy reading.

KAKAK PALING HEBAT


Aku termangu di depan gerbang sekolah yang semakin lama semakin beranjak sepi. Sesekali mataku tak luput dari jarum-jarum kecil yang bermain teratur di pergelangan tanganku. Matahari sudah tak seterik tadi ketika pertama kali aku duduk di sini. Hal ini sudah merupakan rutinitasku setiap hari, rutinitas yang sebenarnya sangat tak kusukai. Sayangnya, aku tak punya pilihan lain.
Satu-satu aku mengamati pengguna jalan, siapa tahu aku melewatkan seseorang yang akan menjemputku. Tetap saja, setiap orang dan kendaraannya yang lewat tidak aku kenali. Aku sudah semakin tidak sabar.
Sebenarnya, sudah sejak tadi aku ingin memutuskan untuk pulang sendiri dengan becak yang mangkal di depanku. Tapi, kuurungkan niat ketika orang yang akan menjemputku ini tiba-tiba mengirimkan pesan, “Bentar, ya. 10 menit lagi.” Oke, aku memutuskan untuk memperpanjang kesabaranku hingga 10 menit ke depan. Namun, sama saja. Ini sudah hampir empat puluh menit berlalu. Menunggu itu memang pekerjaan yang berat.
Baterai handphone-ku sudah diambang batas. Aku tidak bisa memakainya untuk sekedar mendengarkan lagu atau bermain game. Sehingga, kualihkan pandanganku menuju jalan raya yang juga semakin lama semakin sepi. Di seberang jalan, ada penjual cilok yang sibuk melayani beberapa kakak kelasku. Tepat di seberangku, ada segerombolan anak-anak yang memakai seragam sekolah yang sama sedang riuh seperti membicarakan sesuatu yang seru. Selain di becak yang sedang mangkal, ada juga beberapa sepeda motor yang sepertinya melakukan hal yang sama denganku. Pak Satpam sedari tadi bolak-balik menyebrangkan sepeda motor dari arah gerbang sekolah yang ingin bergabung dengan lautan kendaraan lain.
Adapula dua orang perempuan dengan masing-masing motor matiknya saling mengucapkan salam perpisahan setelah keluar dari gerbang sekolah. Entah siapa mereka, mungkin alumni dari sekolah ini. Tapi yang jelas, aku tak mengenali mereka berdua. Setelah mengucapkan salam perpisahan, perempuan yang satu bergegas meninggalkan tempatnya, sedangkan perempuan kedua masih sibuk menoleh ke kanan dan ke kiri, seperti mencari sesuatu. Kemudian, ia mengeluarkan handphone-nya dan seperti mengetik sesuatu. Sepertinya, ia masih menunggu seseorang di sini. Aku harap kesabarannya tidak akan sehabis kesabaranku.
Aku kembali melemparkan pandanganku ke arah jalan raya. Dan aku tak bisa menahan untuk menguap. Meskipun sebenarnya tidak ada angin, tapi aku merasakan sebuah tiupan yang menggodaku untuk memejamkan mata. Kuusap mata yang mulai berair ini. Kakak benar-benar sudah menelantarkanku di sini. Dalam waktu selama ini.
Ya, beberapa hari ini aku terpaksa diantar-jemput oleh Kakak yang pulang dari perantauannya. Sebenarnya, setiap hari aku membawa sepeda motor ke sekolah. Sangat menyenangkan karena aku bisa berangkat dan pulang sesuka hatiku, tanpa perlu menunggu seperti ini. Hanya saja memang keterbatasan yang membuat Mama memutuskan untuk tidak membelikanku sepeda motor baru. Satu untuk berdua, kata Mama. Untung saja, Kakak mau mengalah dan membiarkan sepedanya untuk berada di rumah. Dan aku bisa sebebasnya memakai sepeda itu. Ya, benar-benar sesuka hatiku.
Aku benar-benar memandang iri murid-murid yang sesuka hati keluar masuk gerbang sekolah tanpa harus terikat oleh waktu dan pengharapan palsu seperti ini. Lama-lama, kesabaranku juga diambang batas seperti halnya baterai handphone-ku yang berubah merah sejak tadi.
“Lagi nunggu jemputan, De?” tanya seseorang yang tiba-tiba duduk di sebelahku.
“Eh, Fitri. Kirain siapa. Iya nih, nunggui kakakku daritadi nggak jemput-jemput,” jawabku dengan nada sedikit kesal.
“Kakakmu sudah pulang, ya? Pantesan aku sering lihat kamu duduk di sini. Biasanya juga kamu bawa motor, kan, kalau ke sekolah?” tanyanya lagi. Aku mengangguk.
“Fitri lagi nunggu jemputan juga?”
Kali ini Fitri mengangguk. “Nungguin Papa. Tapi, kayaknya bakal lama, deh. Papa nggak pernah pasti pulangnya kapan.”
“Kakakku nggak pernah setelat ini. Apa jangan-jangan dia ketiduran, ya?” sahutku sambil melirik handphone-ku yang berkedip-kedip minta makan siang. Sabarlah sebentar lagi, batinku pada handphone yang sedang ‘kelaparan’ ini.
“Kakak Dea ada di mana sih sekarang?” tanya Fitri penasaran.
“Dia sekarang kuliah di Semarang. Jauh banget, ya?”
“Dea nggak kangen kakak kalau pas jauh begitu?” lanjut Fitri. Aku diam, berpikir sejenak.
“Eng, kangen sih. Kangen banget. Biasanya di rumah rame ada kakak, meskipun sering bertengkar juga. Tapi, Dea jadi ada temennya. Kalau pas kakak nggak di rumah, Dea jadi bingung mau main sama siapa, mau bencandaan sama siapa, mau masak bareng siapa. Eh iya, kakakku itu suka banget masak. Kita berdua juga sering bereksperimen, lho. Kadang mama sampai marah-marah karena nggak ada yang mau makan hasil eksperimen kita. Ha ha ha, duh, Dea jadi makin kangen sama kakak, nih.”
Fitri tertawa kecil. Tawanya sungguh manis. “Padahal kakakmu ada di rumah, kan? Kok jadi kangen sama kakak, sih?” heran Fitri.
Aku tersenyum. “Soalnya kakakku adalah kakak yang super the best! Suatu saat aku pengen bisa seperti kakak. Kakakku ketua ekskul di sini, ekskul yang aku ikuti sekarang. Makanya, aku langsung bergabung di semua ekskul yang diikuti kakak dulu.”
“Wah, Dea pengen banget, ya, bisa seperti kakak Dea. Kakak Dea pasti dulu siswa berprestasi, ya?” kagum Fitri.
Aku tertawa. “Berprestasi dari Hongkong? Kakakku nggak sepintar teman-temannya. Tapi, aktif banget ikut ekskul dan kegiatan-kegiatan lain. Pernah juga dulu ekskulnya ikut lomba dan kakakku dapet juara satu. Itupun nggak cuma sekali aja. Teman-temannya juga asyik-asyik. Aku dekat dengan beberapa orang temannya, dan mereka benar-benar menyenangkan! Aku iri banget sama kakak, bisa dikelilingi oleh teman-teman sebaik mereka. Pernah teman-teman sekelasnya bela-belain datang ke rumah, membawa cake ulang tahun untuk kakakku, meskipun setelah itu jalan depan rumah langsung berantakan dengan tepung, telur, dan sebagainya. Aku iri sekali dengan kakak dan berharap bisa seperti kakak suatu saat,” jelasku. Fitri tersenyum. Bahkan senyumnya tak kalah manis.
“Aku iri denganmu, Dea. Aku anak satu-satunya, nggak bisa merasakan bagaimana menyenangkannya punya seorang kakak,” kata Fitri. Aku diam ketika memperhatikan mimik mukanya yang seketika berubah agak sedih.
“Fitri nggak punya kakak sepupu?”
“Punya sih. Tapi mereka ada di kota yang sangat jauh. Aku hanya bisa bertemu dengan mereka paling tidak setahun sekali. Sangat senang bisa bertemu mereka. Pasti suasana jadi rame banget.”
Aku tersenyum. “Ya, kalau kumpul sepupu pasti rame banget,” tambahku.
Beberapa menit berlalu. Aku bersyukur Fitri juga masih menunggu jemputan, paling tidak ada teman yang bisa aku ajak mengobrol. Dan Kakak masih belum muncul juga.
Aku melemparkan pandangan sekali lagi ke arah jalan raya di depanku. Perempuan yang sedang menunggu temannya di atas sepeda matiknya tadi kini sudah berpindah ke arah baratku. Ia kelihatan masih menunggu seseorang. Sesekali ia melemparkan pandangan ke handphone-nya. Ia kelihatan mulai lelah dan mungkin merasa kepanasan di balik helm dan kerudungnya. Aku harap kesabarannya tidak menguap karena sengatan matahari siang ini.
Fitri kembali mengajakku mengobrol. Kami membicarakan banyak hal dan sesekali ia bercerita tentang hal lucu. Ia memang teman yang menyenangkan. Dan aku beruntung bisa berteman bersamanya. Ia tak hanya pintar, tapi juga cantik dan mudah bergaul.
“Dea, nggak ikut lomba yang baru ditempel di mading?” tanyanya kemudian.
“Memangnya ada lomba?” tanyaku heran.
“Lho, Dea nggak tahu? Ada lomba baru nih. Aku pengen banget bisa ikut. Tapi nggak tahu sama siapa aja. Dea mau gabung?” tawarnya.
“Ah, Fitri kok malah ngajak Dea? Padahal temen-temen yang lain banyak yang lebih pinter dari Dea, lho.”
“Tapi kan Dea sering ikut lomba juga. Sering lolos lagi. Kalau kekuatan kita disatukan, pasti kita bisa jadi juara. Yuk, ikut, yuk!” ajaknya. Aku tersipu. Memang sih sejak dulu aku sering mengikuti berbagai lomba akademik dan sering kali menjadi perwakilan sekolahku terdahulu untuk mengikuti lomba-lomba bergengsi. Sayangnya, aku tidak pernah mendapatkan juara satu.
“Iyadeh, ntar aku lihat infonya dulu, ya,” jawabku.
“Asyik, akhirnya bisa satu grup sama Dea. Tahu nggak? Banyak lho anak-anak yang pengen bisa satu kelompok lomba sama kamu. Habisnya kamu pinter, sih.”
“Ah, Fitri juga pintar, kok.” Sungguh, basa-basi seperti ini rasanya terlalu berlebihan untukku.
Tiin tiin...
Kami berdua menengok ke arah sumber suara. Seorang laki-laki dengan sepeda motor yang sangat kukenal, ditambah dengan muka ngantuk khasnya, akhirnya muncul juga. Aku berpamitan pada Fitri dan segera menaiki sepeda motor di bangku penumpang.
“Kakak kok lama banget?” tanyaku kesal.
“Tadi Mama masih nyuruh belanja di minimarket. Belum ban sepedannya tiba-tiba bocor. Handphone-ku juga lupa nggak dibawa, he he,” jawab Kakak dengan muka tanpa rasa bersalah.
“Aku udah lama nunggu, Kakak! Untung ada Fitri yang nemenin. Kalau nggak, Fitri daritadi udah tidur di pinggir jalan.”
“Iya, maaf,” jawab Kakak singkat. Sungguh, angin semilir dari sepeda motor membuatku semakin mengantuk. Tapi, untungnya Kakak mengajakku mengobrol, sehingga rasa kantukku lama-lama mulai berkurang.
Ketika aku asyik mengobrol dengan Kakak, tiba-tiba ada sepeda motor dengan kecepatan tinggi menyalip kami. Sepertinya orang itu sedang terburu-buru. Dan ketika ia sudah berada di depan kami, aku baru menyadari bahwa itu adalah perempuan yang menunggu temannya di depan sekolah tadi. Entah mengapa ia terlihat buru-buru seperti itu, padahal jalanan mulai padat kembali.
“Orang itu sembrono sekali,” sahut Kakak.
“Daritadi perempuan itu menunggu seseorang di depan sekolah. Sepertinya ada hal yang sangat penting sampai dia terburu-buru begitu,” kataku.
Entah kenapa, tiba-tiba kakak tidak berkomentar lebih lanjut. Ia terus terdiam sampai kami akhirnya sampai di depan rumah.
“Dik, Mama lagi bikin-bikin tuh. Bantuin gih habis ini,” suruh kakak. Aku melengos.
“Harusnya Kakak juga bantu Mama.” Kakak menggeleng sambil mengutak-atik handphone-nya. “Lagi sibuk nih.” Jawaban yang sangat singkat. Aku tahu, ada hal lain yang mengganggu konsentrasi kakak. Aku tahu dari raut mukanya yang tiba-tiba berubah merah malu. Aku tertawa dalam hati.
Kakakku sedang jatuh cinta rupanya. Dan, aku penasaran siapa perempuan yang beruntung itu.



No comments: