Click If You Want To Know

Thursday, 12 January 2012

Si Motor Butut

   First time, I knew my short stories aren't on the list of the winners. But, when I saw a photo on the announcement page, I READ something that surprised me a lot! Well, I didn't expect this happen to me!
   So, that photo is picturing two committee that seems busy doing something with their laptop. And their background is a white board which the list of the big 18 short stories are written on. I tried to read each title there. And I found THIS POST TITLE is mentioned on the first number! Gooossshhh!! I screamed instantly! It means: I passed the big 18!!! Alhamdulilaaah, what a lucky day!


   I don't know what makes the committee choose my short story to be the best 18. When I was home, I read my short story again, and I feel it's just nothing. I don't feel it's really a special story, although it mostly based on a true story. Yeah, it's hard for me to make fiction stories.
   And the last, I want to say my big thank you to someone who become my BEST inspiration. Thank you, dear :*. And also my VERY BIG thank you to something that inspired me to made it became the main character of the story. Thank you sooooooo much!
    Just like my previous post, I share it to you all. And please, please, pleeeeaaaassseee give me your comments about my story! Give your opinion, do you agree that it becomes the big 18 from 800 short stories?

SI MOTOR BUTUT

            Pernahkah terbesit di benak kalian, mengapa aku diciptakan?
            Mungkin sebagian besar akan menjawab, “Untuk memudahkan manusia menuju suatu tempat.” Atau mungkin ada juga yang menjawab, “Sebagai pemenuhan kebutuhan sekunder.” Atau mungkin satu atau dua orang akan menjawab, “Karena perkembangan teknologi yang memaksamu untuk lahir dan mengabdi pada manusia.”
            Sayangnya, tak pernah terbesit jawaban-jawaban tersebut di pikiranku.
            Aku merasa diciptakan dan terlahir untuk manusia, bukan hanya untuk memudahkan mereka, tapi juga bagian dari hidup mereka. Tanpa mereka sadari, aku sering terlibat dalam momen-momen penting mereka, sesuatu yang akan mereka kenang seumur hidup mereka. Meski hanyalah berperan sebagai sebuah alat, tapi aku merasa diriku berperan penting. Aku adalah salah satu yang hidup dalam kenangan mereka.
            Aku tahu bagaimana majikanku akan memperlakukanku. Meski begitu, aku menganggap mereka juga bagian dari kenanganku, bagian dari kehidupanku. Tanpa mereka, aku tidak akan hidup dan menjalani fungsi utamaku. Siapapun majikanku, dialah yang akan menjadi bagian dari kehidupanku.
***
            Alan adalah majikan pertamaku. Ia sangat senang dan bangga ketika melihatku. Alan yang masih siswa SMP ternyata sudah mahir bermain-main denganku. Bahkan, ia sering membawaku mengitari jalanan kota. Sayangnya, Ayah belum mengizinkannya untuk membawaku ke sekolah. Aku dan Alan sedikit kecewa, tapi memang Alan masih belum cukup umur untuk membawaku di jalanan. Tapi untuk urusan tertentu, ia sering memintaku untuk menemaninya. Aku merasa sangat dekat dengan Alan, layaknya sahabat.
            Dan ketika ia duduk di bangku SMA, akhirnya Ayah mengijinkan Alan untuk membawaku. Umurnya baru 16 tahun. Sebenarnya masih belum cukup umur, tapi sepertinya Alan mulai tidak suka diantar jemput. Ia ingin belajar mandiri.
            Dan aku senang sekali melihatnya kini berpakaian putih abu-abu, yang menurutku adalah sebuah simbol keremajaan yang sesungguhnya. Semakin hari, ia semakin tumbuh dewasa. Hingga pada suatu hari, aku menemukan suatu perubahan dalam dirinya.
            Hari itu panas menyengat. Hampir tidak kutemukan sekelumit awan yang bermain di atasku. Alan buru-buru menuju ke arahku ketika tiba-tiba ia melihat sesuatu jauh di belakangku. Dari kaca spion, aku melihat seorang gadis sedang kebingungan menghadapi sepedanya. Alan segera menemui gadis itu dan mencoba membantunya. Namun, sepertinya sia-sia. Si gadis memutuskan untuk menuntun sepedanya. Alan kembali buru-buru menuju ke arahku dan ia segera menyusul gadis itu.
            “Ke bengkel depan ini aja,” sarannya. Si gadis hanya mengangguk. Aku tahu ia pasti sangat kesal. Alan menatapnya kasihan. “Kamu nggak apa-apa sendirian?”
            “Nggak apa-apa. Udah biasa kok apa-apa sendirian,” jawabnya dengan senyum manis yang mengembang. Alan tersenyum tipis, kemudian ia pamit. Kami meninggalkan gadis itu sendirian.
            Aku lega akhirnya kami bisa cepat pulang karena hari sudah sangat panas dan aku sudah tidak tahan lagi.
            Dan ketika kami sudah agak jauh dari sekolah, Alan berputar dan berbelok ke gang kecil di belakang sekolah. Ini bukan jalan pulang ke rumah, Alan! Aku sedikit panik. Tak lama, kami sampai di jalan besar depan sekolah.
Sekali lagi aku melihat sosok gadis itu. Berdiri dengan anggun sambil memandangi sepedanya yang diutak-atik oleh seorang montir. Ia sedikit terkejut melihat kami berdua.
“Aku pikir kamu pulang,” katanya terkejut. Alan nyengir. Aku mendengus kesal. Untuk apa ia menemui gadis itu lagi, pikirku. Namun, setelah memperhatikan gerak-gerik Alan, akhirnya aku sadar. Alan kini telah mendekati kedewasaan. Menurutku, ia sedang jatuh cinta. Pada gadis di depanku ini. Aku memandang Alan takjub. Ia menjadi sangat perhatian pada gadis itu. Sikapnya juga sangat asing bagiku, bukan seperti Alan yang kukenal.
Dan sejak saat itu, aku merasa Alan sedikit berbeda. Memang benar kata orang, cinta dapat mengubah seseorang yang kita kenal menjadi mahluk aneh yang tidak kita kenal. Alan jadi lebih sering melamun dan memperhatikan handphonenya. Apakah ini efek dari jatuh cinta, gumamku penasaran. Aku tahu, Alan menyukai gadis itu diam-diam. Setiap mereka berpapasan di tempat parkir, Alan selalu mengamati setiap detail gerak-geriknya, layaknya seorang detektif yang mengamati target sasarannya. Aku selalu tertawa melihatnya, tapi juga kasihan. Sering aku menyuruhnya untuk mengungkapkan perasaannya pada gadis itu, tapi Alan masih kurang yakin dengan dirinya sendiri.
Sebenarnya, aku ingin sekali bisa membawa mereka melanglangbuana ke sudut-sudut kota. Atau mungkin hanya sekedar menemani Alan untuk mengantar gadisnya ke suatu tempat. Namun, ia hampir tidak pernah mempertemukan kami. Hanya sekali aku diberi kesempatan untuk membantu Alan. Ketika itu, gadisnya baru selesai menghadiri acara sekolah. Awalnya, Alan ragu untuk menawarkan diri mengantarnya pulang. Namun, begitu kami hampir mendekati si gadis, aku memposisikan mencengkram rodaku ke tanah agar berhenti tepat di sebelah gadis tersebut. Tanpa bisa mengelak, akhirnya Alan menawarkan diri. Dan tawaran tersebut disambut hangat oleh si gadis. Tuh kan, jangan buru-buru nggak pede dulu, kataku dalam hati pada Alan. Malam itu adalah malam yang berkesan bagi Alan.
***
Suatu hari, Alan mengajak gadis itu keluar. Kami berputar mengelilingi kota. Hingga akhirnya kami sampai di sebuah taman kota. Mereka asyik menikmati jagung bakar sambil memandangi bintang-bintang. Langit malam itu sangat cerah. Dan ketika mereka asyik menikmati pemandangan malam, Alan bertanya dengan nada sedikit serius, “Boleh aku bilang sesuatu?”
Gadis itu terkejut mendengar pertanyaan Alan, kemudian bertanya balik, “Memangnya kamu mau bilang apa?”
“Aku mau bilang... Terima kasih.,” jawab Alan. “Terima kasih karena kamu berkenan hadir dalam kehidupanku. Terima kasih karena kamu mau berteman denganku dan memberiku kesempatan untuk bisa dekat denganmu. Terima kasih sudah menjadikanku seorang sahabat. Terima kasih kamu mau berbagi cerita, berbagi kesedihan, maupun berbagi kegembiraan denganku. Aku sangat menyukai momen-momen bersamamu. Setiap detiknya akan sangat berharga untukku. Dan malam ini, aku ingin menjadi malam yang spesial untukku, untuk kita berdua khususnya.”
Alan mengambil napas panjang, kemudian melanjutkan kata-katanya, “Aku ingin bintang-bintang menjadi saksi kita berdua malam ini. Saksi bahwa aku, Alandis Nur Nasution, ingin menjadikan gadis cantik di hadapanku ini, Shahnaz Bian Cantika, sebagai pacar pertama, dan semoga saja yang terakhir. Anas, aku sungguh menyukaimu dari lubuk hatiku yang paling dalam. Dan maukah kau menjadi kekasih hatiku?”
Suasana hening cukup lama. Gadis bernama Anas itu menunduk lama. Alan menunggu dengan sabar.
“Haruskah aku menjawab sekarang?” tanya Anas masih menunduk.
Alan menghembuskan napas berat. “Masih mau berpikir?” tanyanya.
Anas diam sebentar, kemudian menjawab sambil tersenyum, “Aku hanya perlu waktu untuk mencari kata-kata untuk jawabanku.”
“Tidak perlu kata-kata rumit. Cukup dengan ‘aku bersedia’ atau ‘tidak’ atau bahkan ‘maaf’ saja sudah jawaban yang cukup untukku,” kata Alan. Anas tersenyum sambil mengangkat wajahnya.
“Tentu saja aku bersedia menjadi pelabuhan hatimu. Apakah jawaban itu cukup untukmu?” tanyanya dengan senyum bahagia. Alan tertawa kecil. “Sangat cukup,” jawabnya.
Aku ingin melonjak kegirangan melihat keduanya. Dan mungkin akulah satu-satunya yang bisa merasakan luapan kebahagiaan Alan. Ia tak pernah berhenti tersenyum, bahkan ketika kami sampai di rumah. Shera, adik Alan, sampai bingung melihat perubahan suasana Alan malam itu. Tapi sayangnya, Alan tidak mau berbagi kebahagiaan dengan adiknya. Ia memang kakak yang sangat pelit.
Meski akhirnya mereka bersama, tapi tetap saja Alan tidak pernah berangkat bersama pacarnya. Aku sering menyuruhnya, namun ia berlagak cuek. Namun, jika Anas tidak sedang membawa sepedanya, Alan mengantarnya sampai rumah. Atau terkadang mereka keluar bersama ke suatu tempat, menghabiskan waktu berdua di sela-sela kesibukan sekolah yang padat. Cukup lama mereka bertahan. Dan selama yang aku tahu, mereka baik-baik saja, tidak pernah ada masalah yang mengganggu mereka.
Hal yang paling aku kesalkan dari Alan adalah ia menyembunyikan Anas dari keluarganya. Entah apa alasannya. Ia selalu pintar mencari alasan ketika akan keluar bersama pacarnya itu. Awalnya aku merasa bersalah, tapi lama-lama aku terbiasa bermain ‘kucing-kucingan’ bersama Alan.
Hingga tak terasa, mereka berdua telah menjadi siswa senior di SMA. Dalam hitungan bulan, mereka lulus dan menjadi mahasiswa dan mahasiswi. Mereka kini semakin jarang keluar bersama karena masing-masing sibuk mempersiapkan diri. Kata Alan, untuk menjadi seorang dokter diperlukan usaha yang sungguh-sungguh. Alan sendiri sibuk les sana-sini, mungkin begitu pula dengan Anas.
***
            Tahun berlalu sangat cepat. Alan menjadi mahasiswa kedokteran di universitas ternama. Ia meninggalkan kota kelahirannya untuk menjadi dokter yang hebat. Sedangkan Anas menjadi mahasiswi kedokteran gigi di universitas yang berbeda dan juga harus meninggalkan kota ini. Mereka terpisahkan oleh jarak, tapi mereka tetap bertahan.
            Dan aku masih bersama keluarga Alan. Kali ini Shera yang sering menggunakanku untuk pergi ke sekolah yang sama dengan Alan dulu. Keadaan sekolah itu berbeda sekarang, lebih bagus. Aku sering rindu saat-saat bersama Alan dulu. Rindu sekali. Kenangan itu terasa nyata.
            Setelah Shera lulus, Ayah memutuskan untuk menjualku. Kini aku punya majikan baru. Ia masih duduk di bangku SMP, namanya Gilang. Berbeda dengan Alan dulu, ia masih dalam tahap belajar. Tapi aku siap menemani hari-harinya. Aku siap membangun kenangan bersama Gilang. Aku merasa seperti baru dilahirkan kembali.
            Dan aku siap memulai kehidupanku lagi.


No comments: